Tuesday, November 28, 2006

Kebijakan Bencana Indonesia: Performance SBY-Kalla 2004-2006

Jonatan Lassa
(Dibuat untuk Sekolah Demokrasi Indonesia - Policy Assessment Project)

Executive Summary

Indonesia masih belum siap menghadapi kejadian-kejadian bencana skala besar dan menengah. Setidaknya, di level software dan hardware : infrastruktur kebijakan dan masalah kesiapan kelembagaan bencana, kapasitas dana, infrastruktur fisik, ketiadaan perencanaan kontingensi bencana di level propinsi dan kabupaten, sarana dan prasarana memang belum siap untuk bencana besar yang akan datang.
Godaan politis untuk “mengalamiahkan sebuah bencana” yang sesungguhnya anthropogenic akan terus dilakukan seiring dengan ketidak siapan pemerintah dalam mengalokasi sumber daya nasional dan lokal yang tepat dalam penanggulangan bencana. Bencana tidak pernah terjadi tiba-tiba. Gempa bisa tiba-tiba terjadi, tetapi jarak antara gempa dan bencana cukup panjang. Banjir dan tanah longsor bukan bencana yang tiba-tiba dan diperlukan proses yang panjang dan bukan karena faktor hujan semata. Politik dan kekuasaanlah yang didukung technical science dengan visi social-humanis yang kerdillah yang membuat sebuah bencana seolah terjadi menjadi “tiba-tiba”
“Belajar dari pengalaman bencana sebelumnya”, yang merupakan tema International Disaster Reduction Day 2004, belum sepenuhnya dilakukan walaupun dalam 700 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu, lebih dari 170,000 orang meninggal dunia lebih satu juta orang menjadi pengungsi internal, jumlah lapangan kerja yang hilang mencapai ratusan ribu, kerugian langsung lebih dari 140 triliun Rupiah, membuat penduduk yang tidak miskin menjadi miskin, dan miskin turun peringkat ke sangat miskin dengan estimasi kerugian ekonomi Indonesia sedikitnya telah kehilangan lebih dari 14 triliun Rupiah, yang seharusnya bisa dipakai untuk investasi pelayanan social dasar dan pengurangan kemiskinan.
Proxy untuk melihat ketidaksigapan dan tidak adanya kesiagaan terhadap bencana dari Kabinet Indonesia Bersatu bisa dilihat dalam beberapa hal dalam analisis ini: pertama, pada situasi pra-bencana (normal) saja, pendataan kependudukan yang up to date dengan pemisahan gender, kelompok umur, breakdown berdasarkan tingkat kesejahteraan (well-being) dan kerentanan tidak terpetakan. Hal ini akan meperburuk situasi respon bencana. Hal ini terlihat sangat jelas dalam penanganan paska bencana Jogjakarta. Singkatnya, dibutuhkan revitalisasi pendataan kependudukan (yang sensitive gender, kelompok umur rentan dsb.) sebagai bagian integral dari kesiap-siagaan terhadap bencana, demi menyicil kerja-kerja targeting paska bencana.
Proxy kedua, yang kerap diulangi oleh ahli planologi, ahli mitigasi, urban development dsb., adalah pengarus utamaan resiko bencana dalam rencana tata-ruang yang masih minim di Indonesia. Patut diakui visi pengembangan kota yang disaster proof tidak dimiliki oleh bangsa ini dua puluh tahun yang lalu dan masih terjadi hingga kini.
Proxy ketiga adalah politisasi peran Bakornas PBP dan mandat penanganan koorinatif yang kerap tidak mengkoorinasi dengan baik. Bakornas terkesan ’diskriminatif’ dalam memfasilitasi koordinasi penanganan bencana di Indonesia. Bukti terkini adalah penanganan bencana lumpur Lapindo yang memakan mulai korban tanpa intervensi Bakornas PBP. Bakornas PBP belum memiliki strategi yang tepat dalam penanggulangan bencana alam dan bencana teknologi. Terdapat banyak “silent emergencies” paska bencana-bencana yang tidak terlalu “seksi” dalam lima tahun terakhir yang tidak dilakukan secara serius. Bahkan pledge untuk penanganan bencana seperti korban banjir Bahorok 2003, Nias 2001, Bawakaraeng 2004, belum termasuk kondisi pengungsi konflik Poso, Ambon dan ex-Timor-Timur dan daerah banjir 2006 mulai dari Pulau Jawa hingga Sulawesi Selatan.
Proxy yang lainnya adalah Dua draft dokumen yang disiapkan Bappenas: Draft Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) versi Oktober 2004 dan 13 Juni 2005, kata bencana tidak sama sekali disebutkan pada versi Oktober 2004. Sedangkan draft 13 Juni 2005, atau enam bulan setelah peristiwa bencana yang memiskinkan Aceh-Nias, hanya ada satu kata ’bencana’. Kedua draft SNPK menjadi indikator lemahnya visi pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan di daerah-daerah rawan bencana di Indonesia.
Mengingat Urban poverty yang ditandai dengan daerah kumuh yang overlay dengan daerah rentan gempa, dengan kondisi hunian yang rapuh seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Padang, Jogjakarta, Semarang, dsb., dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, akan memberikan spasial distribusi resiko yang luas bila terjadi gempa (sangat mungkin), dan pada saat yang bersamaan menghadapai ancaman banjir tahunan (dengan periode ulang yang relative pendek).
Dalam berhubungan dengan ancaman alam pada umumnya seperti banjir, gempa, tsunami dan epidemic, tidak hanya eksklusif Indonesia tapi secara umum, kebanyakan pengambil kebijakan mengabaikan sifat antropogenic sebuah bencana. Bencana masih terlihat secara terpisah-pisah “bencana alam”. Se-alamiah apapun sebuah ancaman (hazard), resiko yang ditimbulkannya justru berelasi erat dengan konstruksi sosial yang ada. Alex de Waal (2005) mengatakan bahwa “impact of human disaster imprinted on social forms”.
Kesadaran untuk membangun skenario multi-hazard (multi-ancaman) dan integrasi pembangunan, yang dipromosikan ulang dalam Hyogo Framework for Actions belumlah populer bagi para pengambil kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia (nasional, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa). Penanganan resiko bencana belum dilihat sebagai prasyarat penanggulangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan.
Pidato SBY tanggal 16 Agustus 2006 memuat memasukan mitigasi bencana dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2007 dengan tujuh langkah: ”Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Nias, dan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta mitigasi bencana” yang dijelaskan lebih lanjut dalam RKP 2007 dengan follow up penuntasan respon darurat di: (a) NAD dan Nias; (b) Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah; (c) Alor dan Nabire, serta bencana di daerah lainnya; (d) penguatan kelembagaan penanggulangan bencana di tingkat nasional dan daerah; (e) penguatan kelembagaan dalam rangka penegakan rencana tata ruang dan rencana wilayah; (f) pengurangan dan pencegahan resiko bencana; serta (g) peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Ke tujuh daftar di atas akan menjadi semata-mata ad-hoc wish list bila tidak diletakan dalam kesadaran akan urgensitas penanganan bencana berbasis strategi multi-hazards, pendekatan yang komprehensif. Tentunya, tanpa kertas strategi yang memperhitungkan skenario tiap bencana dan kertas stategi yang dikembangkan dari analisis tiap jenis hazard, pemerintah tidak pernah bisa menjamin bahwa agenda pengurangan resiko bencana yang dilakukan efisien dan efektif.

Tuesday, November 21, 2006

Ditemukan, Detektor Tsunami yang Hilang

Ditemukan, Detektor Tsunami yang Hilang


Written by Redaksi
Sabtu, 25 Maret 2006
Laporan Wartawan JPNNEditor: Buchori M.
PADANG - Alat pendeteksi tsunami (tsunami buoy) yang sempat hilang Kamis lalu akhirnya ditemukan KRI Patimura yang ditugaskan khusus melacak benda tersebut. Tsunami buoy ditemukan pukul 15.20 WIB di perairan perbatasan Sumbar dan Riau. ”Lantaran di KRI Patimura tak memiliki alat pengangkat, tsunami buoy ditarik dulu ke Sibolga. Setelah sampai di Dermaga Sibolga, selanjutnya dinaikkan ke atas kapal untuk dibawa ke Padang," jelas Danlanal Teluk Bayur Kol (E) Munizar Munaf M.T., tadi malam. Alat pendeteksi tsunami yang dipasang di dua titik, Mentawai dan perairan Nias, beberapa waktu lalu, salah satunya dinyatakan hilang. Alat sumbangan negara Jerman itu tidak berada lagi di titik tempat pemasangan awalnya.Informasi tidak beradanya lagi alat itu dari posisi semula diketahui Danlanal setelah pihak Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi (BPPT) melaporkannya sekitar pukul 11.00 WIB kemarin. Alat itu sebenarnya belum dalam keadaan hilang karena masih terpantau. Namun, posisinya sudah bergeser cukup jauh dari titik pemasangannya, diperkirakan mencapai 30 mil laut. Untuk diketahui, tsunami buoy dipasang sebagai langkah antisipasi dan penanggulangan ancaman bahaya tsunami di kawasan Sumatera Bagian Barat. Ini dipasang atas kerja sama Kementerian Ristek dan delegasi Jerman, masing-masing dipasang di kawasan barat Pulau Pagai dan perbatasan antara Pulau Mentawai dengan Pulau Nias. Pemasangan tsunami buoy pertama dipasang di kawasan belakang Pulau Pagai dengan titik koordinat 3 derajat 42 menit LS dan 99 derajat 12 menit BT. Pemasangan alat tersebut ditempatkan pada kedalaman 5.291 meter dari permukaan laut. Tsunami buoy mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap gempa dan tsunami. Deteksi alat sensor tersebut dengan mudah akan ditangkap satelit dan satelit langsung memberikan sinyal ke alat yang ditempatkan di BMG. Dalam keadaan normal, tsunami buoy akan mengirimkan data ke stasiun penerima di darat secara berkala 3 jam, 6 jam, atau 24 jam. Tetapi pada saat terjadi tsunami, secara otomatis mengirimkan sinyal permukaan laut ke tsunami buoy setiap menit, dengan sampling rate 15 detik. Adanya perubahan elevasi muka air laut sebesar lebih dari 2,5 cm dan terekam pada 2 sampling bertutur-turut akan diindikasikan sebagai kejadian tsunami. (*)

Komponen Alat Pemantau Banjir Lahar di Merapi Dicuri

Komponen Alat Pemantau Banjir Lahar di Merapi Dicuri

Catatan; This is the second times I heard that early warning equipments are stolen from its places. Sad. Indonesia sad.


MAGELANG, KOMPAS - Sejumlah komponen dari tujuh alat pemantau pengendali banjir lahar dingin Gunung Merapi milik Balai Sabo, yang dipasang di sekitar wilayah Magelang, Jawa Tengah, baru-baru ini dicuri. Pencurian yang belum diketahui pelakunya itu mengakibatkan sistem peringatan ancaman banjir lahar dingin di sekitar wilayah Magelang tak dapat dijalankan.
Sutikno, peneliti dari Balai Sabo, Yogyakarta, saat dihubungi, Kamis (2/11), mengatakan pencurian tujuh komponen dari sejumlah alat pemantau banjir lahar dingin Gunung Merapi, sampai saat ini belum diketahui pelakunya.
Sejumlah komponen yang dicuri itu terdiri dari kabel-kabel dan beberapa batere yang berfungsi menjalankan alat-alat tersebut. “Kami pun tidak mengetahui, kapan komponen-komponen itu dicuri, karena dipasang di jalur-jalur luncuran lahar di bagian atas. Pencurian itu baru diketahui, setelah petugas kami memeriksa ke sana, dan ditemukan alat-alat itu sudah diobok-obok,” terangnya.
Pencurian tersebut mengakibatkan alat pemantau curah hujan dan alat pemantau luncuran dan ketinggian banjir lahar dingin, yang dipasang di sekitar sungai luncuran lahar dingin Gunung Merapi di Magelang itu, tak dapat berfungsi. Sejumlah komponen serupa milik Sabo Technical Center yang dipasang di sana juga ikut hilang.
Balai Sabo yang berwenang atas operasional alat-alat itu pun, menurut Sutikno, tak dapat lagi memberikan peringatan dini atas ancaman banjir lahar dingin kepada Pemerintah Kabupaten Magelang. “Hal ini sudah kami beritahukan kepada Pemkab Magelang. Dengan dicurinya komponen-komponen ini, kami tak dapat memberikan peringatan dini lagi,” jelasnya.
Sutikno menduga pencurian itu memiliki latar belakang sabotase. Selain sejumlah komponen yang dicuri itu memiliki spesifikasi yang tak dapat dipergunakan untuk alat lain, alat-alat tersebut juga berfungsi untuk kepentingan umum.
“Komponen dari alat-alat ini sangat spesifik. Seperti batere dan kabel-kabel yang dicuri itu tak bisa dipergunakan untuk alat lainnya. Makanya, saya menduga ini ada unsur sabotase. Sengaja merugikan masyarakat, karena alat ini kan untuk kepentingan umum,” jelasnya.
Meski pencurian tersebut mengakibatkan sistem peringatan dini atas banjir lahar dingin tak berfungsi, tapi tak menjadi beban bagi Pemkab Magelang.
Kepala Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Magelang, Edy Susanto, mengatakan meski tak ada pencurian itu, Pemkab Magelang pun tak pernah menerima peringatan dini terkait ancaman banjir lahar dingin.
“Saya saja yang menjadi anggota Satlak Bencana Alam di Magelang, tidak pernah memperoleh laporang ancaman lahar dingin. Selama ini, kami hanya mengandalkan ilmu titen (pengamatan sehari-hari terhadap alam sekitar) dari masyarakat,” jelasnya.
Pengamatan dari masyarakat itu, menurut Edy, yang selama ini menjadi acuan bagi Pemkab Magelang untuk mengambil tindakan. “Kalau masyarakat sudah melihat perubahan pada alam yang bisa menjadi ancaman banjir lahar dingin, kami langsung mengambil tindakan,” katanya. (MDN)