Saturday, September 15, 2007

Alam Tak Pernah Membangun Rumah (Opini Kompas 15/09-2007)

Alam Tak Pernah Membangun Rumah

Jonatan Lassa

"Nature did not build the houses which collapsed" (Rousseau 1756).

Alam tidak pernah membangun rumah yang runtuh menimpa penghuninya. Demikian Rousseau (1756) kepada Voltaire merespons gempa dan tsunami Lisabon, 1 November 1755, yang menewaskan sedikitnya 70.000 orang.

Ilmu geologi, terutama seismologi, memberi informasi mutakhir bahwa pergeseran lempeng Indo-Australia menyebabkan gempa mengguncang Banyuwangi dan Situbondo, Jawa Timur, (Kompas, 10/9). Namun, itu tidak cukup menjelaskan mengapa tidak semua hancur. Hal sama terjadi dari Aceh hingga Papua, dan terakhir di Bengkulu dan Sumatera Barat. Pesan surat Rousseau 250 tahun lalu masih relevan bagi teknik sipil kajian mitigasi gempa bahwa alam (nature) tidak pernah membangun rumah yang runtuh menimpa penghuninya".

Pesan media sering tak kuat menjelaskan, gempa tidak pernah muncul dari perut Bumi dan membunuh manusia. Tanpa tegas memahami (clear cut) antara gempa sebagai fenomena alam dan bencana karena runtuhnya gedung/rumah terhadap penghuninya, maka kebijakan penanganan yang mendasarinya kehilangan dasar kokoh, ibarat membangun di atas pasir.

Analogi lainnya terkait mitigasi bencana adalah peribahasa "jangan membangun di atas pasir". Jangan pernah membangun rumah di atas aliran banjir. Bukan alam, melainkan manusia yang membangun rumah atas keputusan sadar ataupun naif. Pesannya ialah bila memilih "membangun di atas pasir" lalu banjir menghanyutkannya, jangan Anda mengatakan itu "bencana alam".

Tepat 250 tahun lalu, saat bencana sebagai bidang studi belum terbayangkan, Rousseau telak mengatakan, alam tidak bisa disalahkan karena alam tak pernah membangun rumah yang runtuh menimpa penghuninya.

Tidak ada bencana alam

Tidak ada yang namanya bencana alam. Peristiwa alam seperti gempa, tsunami, vulkanik, banjir, dan topan adalah peristiwa alam. Banjir dan gempa memiliki tempatnya sendiri. Keputusan manusia membangun infrastruktur serta berbagai fasilitas yang tidak memperhitungkan waktu, tempat, dan perilaku alamlah yang wajar dipersalahkan. Kebebalan untuk tidak belajar dari masa lalu itu patut disayangkan. Juga kebijakan publik yang setengah-setengah dalam menanggapinya, perlu terus diingatkan untuk ditingkatkan.

Kamus sering memerangkap masyarakat dalam konsep yang terhegemoni dari status quo budaya bencana sebelumnya, sehingga masyarakat terjebak paradigma lama. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka Edisi 2005) mendefinisikan bencana alam sebagai ’bencana yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi, angin besar dan banjir’, sedangkan bencana dimaknai ’sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya’.

Menarik ditelaah. Jika banjir dan gempa tidak menimbulkan kerugian, artinya banjir dan gempa pada dirinya sendiri adalah fenomena alam. Adapun bencana sendiri adalah peristiwa yang melibatkan manusia. Manusialah yang memutuskan untuk membangun rumah dengan kualitas yang (terpaksa) dipilihnya. Bila karena keterbatasan ekonomi dan pengetahuan tentang aplikasi mitigasi gempa, seseorang tidak memiliki banyak pilihan selain membangun dan tanpa disadari dalam lintasan waktu, beririsan dengan kejadian gempa besar. Rumah pun runtuh menimpa penghuninya yang bersusah payah membangunnya.

Alam, sesuatu yang terberi

Bila Anda memiliki cukup duit, sadar akan risiko gempa, topan dan banjir, ada banyak pilihan untuk dibuat. Anda mampu membayar arsitek yang paham tentang gempa, mengetahui sejarah gempa dan banjir, lalu mendesain rumah yang aman dari banjir, kuat menahan angin topan. Tetapi bila naif, meski kaya tetapi miskin pengetahuan dan visi rumah sendiri serta tak peduli terhadap konteks geologis/ hidroklimatologis tempat tinggal, bencana adalah keniscayaan sebuah keniscayaan.

Gempa Yogyakarta 2006 membuktikan, ada rumah tetap tegak meski sekitarnya rata tanah. Hal ini kian meyakinkan ahli struktur gedung bahwa alam adalah sesuatu yang terberi (given), sedangkan konstruksi rumah (yang runtuh atau tahan gempa) adalah pilihan sadar penghuninya.

Bila SDM dan sumber daya keuangan keluarga x rendah, pilihan untuk membangun rumah yang ramah bencana menjadi kian kecil, kecuali keluarga itu memiliki akses pada pengetahuan dan material alternatif yang murah dan ramah gempa. Maka, bencana adalah fenomena sosial, bukan hanya fenomena alam. Karena itu, kemiskinan (materi dan pengetahuan bencana) menjadi faktor penting.

Studi bencana mutakhir dari ilmu sosial memberi pesan untuk melihat konteks sosial-ekonomi-politik-lingkungan di mana peristiwa alam terjadi. Kemampuan melakukan taking naturalness out of natural disasters (O’Keefe et al 1976) menjadi titik berat studi bencana mutakhir.

Kebijakan dari masa 2000 tahun lalu dan Rousseau (1756) mengatakan, semua bencana mensyaratkan input/kontribusi manusia di dalamnya. Kejadian alam (natural hazard) bisa menjadi prasyarat—prasyarat yang tidak cukup membuat dirinya menjadi bencana—kecuali manusia dan masyarakat mau dianggap sebagai proses alam itu sendiri.

Jonatan Lassa Menempuh PhD Research in Disaster Governance, Center for Development Research (ZEF), University of Bonn