Thursday, November 22, 2007

Teologi Ramah Lingkungan (Opini Kompas 23/11-2007)

Teologi Ramah Lingkungan (Opini Kompas 23/11-2007)

Oleh Yonky Karman

Indonesia mendapat kehormatan menjadi tuan rumah Konferensi Ke-13 Para Pihak atau COP-13 dalam Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim. Sekaligus itu juga tantangan sejauh mana bangsa yang mengklaim diri religius mampu memberi kontribusi positif dari kekayaan tradisi keagamaannya.

Klaim agama-agama monoteis, dunia milik Tuhan, tidak serta-merta membuat teologi lingkungan berkembang. Malah, model iman yang berkembang tidak peduli lingkungan. Umat lebih sibuk membela kelurusan ajaran agama (ortodoksi) dan berpretensi sebagai pembela Tuhan, tetapi lambat merespons krisis lingkungan yang belakangan kian mengkhawatirkan.

Meluruskan pemahaman

Penekanan berlebihan tentang kemahakuasaan Tuhan dalam monoteisme tanpa disadari telah melegitimasi eksploitasi alam. Lynn White Jr, sejarawan abad pertengahan, menuduh agama Kristiani di Barat sebagai agama yang paling antroposentris dalam memosisikan manusia berhadapan dengan alam (The Historical Roots of Our Ecologic Crisis, 1967).

Dalam cara pandang Kristani abad pertengahan tentang manusia dan alam, manusia bukan bagian alam, tetapi penguasanya. Demi mandat budaya dari Tuhan, alam harus ditaklukkan dan dikuasai. Dalam dualisme alam-manusia, alam ada hanya untuk manusia. Teknologisme di Barat mendorong perkembangan teknologi sebagai sarana eksploitasi alam. Maka, teknologi berkembang menjadi begitu rumit dan mendominasi dunia ketiga.

Semasa abad pertengahan, kemenangan agama Kristiani atas paganisme dirayakan berlebihan. Manusia tradisional memercayai hutan, gunung, dan alam ada penunggunya. Oleh karena itu, manusia tidak boleh sembarangan mengusik alam. Agama Kristiani menafikan kepercayaan kepada roh-roh seperti itu. Alam hanya ciptaan lebih rendah karena itu boleh dieksploitasi oleh ciptaan yang lebih tinggi.

Dua tahun sebelum White, Harvey Cox teolog dari Harvard, juga menuduh tradisi Kristiani dengan teologi penciptaannya memisahkan alam dari Tuhan dan memisahkan manusia dari alam (The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective, 19-21). Pemisahan tajam itu membuat manusia kehilangan rasa hormat kepada alam. Alam hanya untuk melayani kepentingan manusia dan obyek eksploitasi belaka.

Namun, wacana Kristiani belakangan menyadari ketimpangan cara pandang lama itu. Tuhan tidak hanya dilihat dalam kemahakuasaan dan universalitas-Nya, tetapi juga Tuhan yang peduli lingkungan (Tuhan yang ekouniversal). Mandat budaya untuk menguasai alam tidak dipahami dalam koridor manusia sebagai penakluk, tetapi sebagai dititipi kewajiban untuk memeliharanya.

Gambaran awal narasi penciptaan dalam Kitab Kejadian adalah penciptaan sebagai penguasaan chaos. Daripada meniadakan chaos, penciptaan mengontrolnya agar tidak menyengsarakan. Jika manusia salah menggunakan kebebasannya, aneka kekuatan chaos akan lepas tak terkendali. Sebagai wakil Allah di Bumi, manusia bertanggung jawab untuk mengontrol aneka kekuatan chaos.

Perspektif lingkungan dalam Kitab Kejadian sering dibaca berat sebelah dengan menekankan penguasaan manusia atas alam. Padahal, nuansa kekuatan dalam verba "menaklukkan" dan "menguasai" lebih berarti agar manusia menyelidiki alam, memelajari hukum-hukumnya, mengeksplorasinya. Semua itu bukan pekerjaan ringan. Maka, tiada korelasi antara mandat untuk menaklukkan alam dan tuduhan bahwa Alkitab tak peduli lingkungan. Justru sebaliknya.

Setelah diciptakan, manusia ditempatkan di Taman Eden untuk memeliharanya. Itulah bentuk nyata penguasaan atas alam. Manusia adalah person dalam relasi dengan Tuhan dan secara hierarkis lebih tinggi dari alam. Namun, manusia juga sekelompok dengan alam dalam relasi keterbatasan dan kefanaan. ’adam berasal dari ’adama (tanah). Sebagai bagian alam, nasib manusia mengikuti nasib lingkungan. Kehancuran lingkungan juga kehancuran manusia.

Tanggung jawab ekologis

Maka, teologi penciptaan menegaskan tanggung jawab ekologis manusia. Maksud manusia menguasai Bumi adalah agar alam dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia dan anak cucunya. Pada gilirannya karunia alam mendorong puji syukur kepada Allah yang mahabaik. Alam bukan untuk memenuhi kerakusan manusia. Penguasaan atas alam terkait dengan kesejahteraan yang berkelanjutan.

Penguasaan atas alam dibatasi tujuan penguasaan itu sendiri, yakni demi kesejahteraan bersama. Maka, wujud penguasaan manusia atas alam bukan menggunduli hutan, mengeruk pasir yang menimbulkan abrasi, atau membuang sampah sembarangan. Memelihara Bumi dan tidak merusak ekosistem adalah bukti penguasaan diri manusia. Dunia adalah tempat tinggal bersama yang sesama penghuninya hidup bergantung.

Wujud kuasa manusia atas alam terlihat dalam batasan mandat untuk memeliharanya. Perilaku ramah lingkungan adalah bagian iman, salah satu ujian iman yang membumi. Maka, bencana alam yang sedang mendera kita bukan hanya fenomena alam, tetapi karena kelalaian kita sebagai pemangku tanggung jawab ekologis.

Semula bukan hanya langit dan Bumi diciptakan Tuhan, tetapi manusia dan taman. Manusia ditakdirkan hidup dalam taman, dalam suatu ketergantungan. Taman bagi lurah adalah wilayah kelurahan, kecamatan bagi camat, kabupaten bagi bupati, kota bagi wali kota, provinsi bagi gubernur, dan negeri bagi presiden.

Pejabat yang dengan enteng meyakinkan rakyat bahwa bencana adalah fenomena alam sedang lari dari tanggung jawab publiknya. Kita masing-masing mempunyai taman yang perlu dipelihara. Rumah dan lingkungan sekitar, kantor, jalan yang kita lalui. Di mana kita berada, lingkungan adalah taman yang harus dipelihara.

Yonky Karman Rohaniwan

Thursday, November 08, 2007

Manajemen Risiko Bencana dan Sekolah (Opini Kompas 07/11-2007)

Lingkungan Hidup
Manajemen Risiko Bencana dan Sekolah

Jonatan Lassa

"Children will be one day the mayors, the architects and the decision makers of the world of tomorrow. If we teach them what they can do from the early age they will build a safer world."

Salvano Briceño Director, UN/ISDR Secretariat

Hari Reduksi Risiko Bencana dunia jatuh tanggal 10 Oktober 2007.

Tradisi merayakan hari reduksi bencana dunia yang jatuh tiap Rabu minggu kedua Oktober setiap tahun ditetapkan melalui Resolusi 44/236 (22 Desember 1989) dan yang ditegaskan ulang dalam Resolusi 56/195 (21 Desember 2001) Sidang Umum PBB sebagai kendaraan yang mempromosikan budaya penanganan bencana secara ex-ante, yakni sekumpulan aktivitas pra-bencana, seperti reduksi risiko bencana, budaya pencegahan dan mitigasi bencana, serta kesiapsiagaan terhadap bencana.

Tema yang diusung dalam tahun 2006-2007 berturut-turut adalah "Menuju Budaya Preventif: Reduksi Risiko Bencana Dimulai dari Sekolah" yang dikoordinasikan United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN/ISDR).

Argumentasi dasar dari tema yang dipilih adalah bahwa sekolah merupakan tempat menabur nilai kolektif budaya pencegahan dan sadar bencana, karena itu pengarusutamaan reduksi risiko bencana (RRB) dalam kurikulum sekolah adalah penting dan mempromosikan gedung sekolah yang lebih aman terhadap bencana. Slogan inspiratif UN/ISDR dalam information kit-nya adalah "Biarkan Anak-anak Mengajari Kita".

Tradisi Hari Bencana Dunia

Ada baiknya kita melihat kembali tema-tema risiko lima tahun terakhir sebagai upaya singkat menelusuri pola pikir yang menjadi bernas penanganan bencana awal abad ke-21.

Tahun 2005 tema Hari Bencana Dunia adalah relasi microfinance sebagai upaya mereduksi kemiskinan dan kerentanan yang berkontribusi pada reduksi risiko bencana dunia. Tahun 2005 oleh PBB juga dinyatakan sebagai "The Year of Microfinance". Kampanye ini kelihatannya memiliki determinasi dalam menentukan pemenang Nobel Perdamaian 2006 dengan sang master microfinance Dr Yunus dari Banglades.

Tahun 2004, tema Hari Bencana Dunia adalah "Belajar dari Bencana (disaster) Masa Lalu dalam Menghadapi Ancaman (hazards) Hari Esok". Dikomunikasikan secara tegas oleh UN/ISDR bahwa gempa, topan, banjir, letusan vulkanik, dan berbagai ancaman alam merupakan bagian dari keniscayaan hidup manusia dalam alam yang dinamis. Yang bisa dilakukan adalah menurunkan derajat kerentanan terhadap peristiwa-peristiwa alam tersebut. Laporan "Hidup Bersama Risiko Bencana" memperkuat pesan bahwa manusia tidak bisa free from floods, tetapi niscaya living with floods.

Tahun 2003 adalah turning the tide on disasters towards sustainable development. Tema ini berelasi erat dengan ditetapkannya tahun itu sebagai The International Year of Freshwater. Pesannya sangat relevan dengan peristiwa banjir tahun sebelumnya di Indonesia serta di berbagai belahan dunia, seperti China dan Asia Selatan, yakni bahwa "tugas kita adalah tidak serta-merta melestarikan sumber daya air, tetapi juga mereduksi kapasitas air dalam membinasakan hidup manusia (dalam bentuk banjir, longsor, siklon dan sebagainya yang terus berulang)".

Kurang air (kekeringan) bisa menyebabkan bencana, sedangkan kelebihan air (banjir, longsor, siklon) dapat menyebabkan bencana. Oleh karena itu, rezim pengelolaan air tidak hanya sibuk seputar pengadaan dan konservasi air, tetapi juga wajib mereduksi dampak risiko dari ancaman berbasis air dan iklim.

Dalam pernyataannya, Kofi Annan (08/10/2003) mengatakan, ancaman alam (natural hazards) adalah bagian dari hidup. Namun, ancaman berupa banjir, gempa, dan sebagainya baru menjadi bencana ketika hidup dan penghidupan manusia menjadi hilang dan/atau rusak. Dalam momen yang sama pada tahun 2001, Sekretaris Jenderal PBB mengatakan, "Alam akan terus menantang kita." Tetapi, adalah dalam kekuasaan manusia (baca: politik) untuk memastikan bahwa kemiskinan tidak membalikkan kejadian alam menjadi risiko bencana yang tidak terkelola.

Mengapa anak-anak?

Fokus tema Hari Bencana Dunia 2007 yang dipertahankan sama dengan 2006 sudah didesain sejak awal. Optimisme melahirkan generasi yang sadar akan risiko bencana tidak bisa diserahkan kepada para orang tua yang mendominasi kepemimpinan politik saat ini. Yang tua telah hanyut dalam budaya reaktif: menunggu bencana baru bertindak.

Karena dipercaya bahwa investasi di sekolah (sumber daya manusia, yakni anak sekolah dasar dan bangunan sekolah yang adaptif bencana) akan memberikan hasil jangka panjang, di mana lahirnya para wali kota, desainer, perencana, arsitek, dan pembuat kebijakan masa depan yang lebih aman terhadap bencana.

Optimisme ini perlu didukung. Kanak-kanak dan anak-anak SD bahkan disarankan sejak dini melatih imajinasi penanganan bencana melalui game (permainan). UN/ISDR sudah merilis versi online disaster game (www.stopdisastersgame.org) yang mudah-mudahan bisa diakses anak-anak di Indonesia dalam versi playstation atau PC games dalam waktu dekat.

Jonatan Lassa PhD Research in Disaster Governance, Center for Development Research (ZEF), University of Bonn, Germany