Kebijakan Bencana Indonesia: Performance SBY-Kalla 2004-2006
Jonatan Lassa
(Dibuat untuk Sekolah Demokrasi Indonesia - Policy Assessment Project)
Executive Summary
Indonesia masih belum siap menghadapi kejadian-kejadian bencana skala besar dan menengah. Setidaknya, di level software dan hardware : infrastruktur kebijakan dan masalah kesiapan kelembagaan bencana, kapasitas dana, infrastruktur fisik, ketiadaan perencanaan kontingensi bencana di level propinsi dan kabupaten, sarana dan prasarana memang belum siap untuk bencana besar yang akan datang.
Godaan politis untuk “mengalamiahkan sebuah bencana” yang sesungguhnya anthropogenic akan terus dilakukan seiring dengan ketidak siapan pemerintah dalam mengalokasi sumber daya nasional dan lokal yang tepat dalam penanggulangan bencana. Bencana tidak pernah terjadi tiba-tiba. Gempa bisa tiba-tiba terjadi, tetapi jarak antara gempa dan bencana cukup panjang. Banjir dan tanah longsor bukan bencana yang tiba-tiba dan diperlukan proses yang panjang dan bukan karena faktor hujan semata. Politik dan kekuasaanlah yang didukung technical science dengan visi social-humanis yang kerdillah yang membuat sebuah bencana seolah terjadi menjadi “tiba-tiba”
“Belajar dari pengalaman bencana sebelumnya”, yang merupakan tema International Disaster Reduction Day 2004, belum sepenuhnya dilakukan walaupun dalam 700 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu, lebih dari 170,000 orang meninggal dunia lebih satu juta orang menjadi pengungsi internal, jumlah lapangan kerja yang hilang mencapai ratusan ribu, kerugian langsung lebih dari 140 triliun Rupiah, membuat penduduk yang tidak miskin menjadi miskin, dan miskin turun peringkat ke sangat miskin dengan estimasi kerugian ekonomi Indonesia sedikitnya telah kehilangan lebih dari 14 triliun Rupiah, yang seharusnya bisa dipakai untuk investasi pelayanan social dasar dan pengurangan kemiskinan.
Proxy untuk melihat ketidaksigapan dan tidak adanya kesiagaan terhadap bencana dari Kabinet Indonesia Bersatu bisa dilihat dalam beberapa hal dalam analisis ini: pertama, pada situasi pra-bencana (normal) saja, pendataan kependudukan yang up to date dengan pemisahan gender, kelompok umur, breakdown berdasarkan tingkat kesejahteraan (well-being) dan kerentanan tidak terpetakan. Hal ini akan meperburuk situasi respon bencana. Hal ini terlihat sangat jelas dalam penanganan paska bencana Jogjakarta. Singkatnya, dibutuhkan revitalisasi pendataan kependudukan (yang sensitive gender, kelompok umur rentan dsb.) sebagai bagian integral dari kesiap-siagaan terhadap bencana, demi menyicil kerja-kerja targeting paska bencana.
Proxy kedua, yang kerap diulangi oleh ahli planologi, ahli mitigasi, urban development dsb., adalah pengarus utamaan resiko bencana dalam rencana tata-ruang yang masih minim di Indonesia. Patut diakui visi pengembangan kota yang disaster proof tidak dimiliki oleh bangsa ini dua puluh tahun yang lalu dan masih terjadi hingga kini.
Proxy ketiga adalah politisasi peran Bakornas PBP dan mandat penanganan koorinatif yang kerap tidak mengkoorinasi dengan baik. Bakornas terkesan ’diskriminatif’ dalam memfasilitasi koordinasi penanganan bencana di Indonesia. Bukti terkini adalah penanganan bencana lumpur Lapindo yang memakan mulai korban tanpa intervensi Bakornas PBP. Bakornas PBP belum memiliki strategi yang tepat dalam penanggulangan bencana alam dan bencana teknologi. Terdapat banyak “silent emergencies” paska bencana-bencana yang tidak terlalu “seksi” dalam lima tahun terakhir yang tidak dilakukan secara serius. Bahkan pledge untuk penanganan bencana seperti korban banjir Bahorok 2003, Nias 2001, Bawakaraeng 2004, belum termasuk kondisi pengungsi konflik Poso, Ambon dan ex-Timor-Timur dan daerah banjir 2006 mulai dari Pulau Jawa hingga Sulawesi Selatan.
Proxy yang lainnya adalah Dua draft dokumen yang disiapkan Bappenas: Draft Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) versi Oktober 2004 dan 13 Juni 2005, kata bencana tidak sama sekali disebutkan pada versi Oktober 2004. Sedangkan draft 13 Juni 2005, atau enam bulan setelah peristiwa bencana yang memiskinkan Aceh-Nias, hanya ada satu kata ’bencana’. Kedua draft SNPK menjadi indikator lemahnya visi pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan di daerah-daerah rawan bencana di Indonesia.
Mengingat Urban poverty yang ditandai dengan daerah kumuh yang overlay dengan daerah rentan gempa, dengan kondisi hunian yang rapuh seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Padang, Jogjakarta, Semarang, dsb., dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, akan memberikan spasial distribusi resiko yang luas bila terjadi gempa (sangat mungkin), dan pada saat yang bersamaan menghadapai ancaman banjir tahunan (dengan periode ulang yang relative pendek).
Dalam berhubungan dengan ancaman alam pada umumnya seperti banjir, gempa, tsunami dan epidemic, tidak hanya eksklusif Indonesia tapi secara umum, kebanyakan pengambil kebijakan mengabaikan sifat antropogenic sebuah bencana. Bencana masih terlihat secara terpisah-pisah “bencana alam”. Se-alamiah apapun sebuah ancaman (hazard), resiko yang ditimbulkannya justru berelasi erat dengan konstruksi sosial yang ada. Alex de Waal (2005) mengatakan bahwa “impact of human disaster imprinted on social forms”.
Kesadaran untuk membangun skenario multi-hazard (multi-ancaman) dan integrasi pembangunan, yang dipromosikan ulang dalam Hyogo Framework for Actions belumlah populer bagi para pengambil kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia (nasional, propinsi, kabupaten, kecamatan, desa). Penanganan resiko bencana belum dilihat sebagai prasyarat penanggulangan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan.
Pidato SBY tanggal 16 Agustus 2006 memuat memasukan mitigasi bencana dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2007 dengan tujuh langkah: ”Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Nias, dan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, serta mitigasi bencana” yang dijelaskan lebih lanjut dalam RKP 2007 dengan follow up penuntasan respon darurat di: (a) NAD dan Nias; (b) Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah; (c) Alor dan Nabire, serta bencana di daerah lainnya; (d) penguatan kelembagaan penanggulangan bencana di tingkat nasional dan daerah; (e) penguatan kelembagaan dalam rangka penegakan rencana tata ruang dan rencana wilayah; (f) pengurangan dan pencegahan resiko bencana; serta (g) peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Ke tujuh daftar di atas akan menjadi semata-mata ad-hoc wish list bila tidak diletakan dalam kesadaran akan urgensitas penanganan bencana berbasis strategi multi-hazards, pendekatan yang komprehensif. Tentunya, tanpa kertas strategi yang memperhitungkan skenario tiap bencana dan kertas stategi yang dikembangkan dari analisis tiap jenis hazard, pemerintah tidak pernah bisa menjamin bahwa agenda pengurangan resiko bencana yang dilakukan efisien dan efektif.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home