Ketahanan Pangan Indonesia
Opini Kompas 29 Nov 2005
Jonathan Lassa
Argumentasi zero sum game kebijakan impor 300.000 metrik ton beras dipertontonkan kepada rakyat. Kita seolah dipaksa tunduk pada dilema simalakama, yaitu memilih impor pangan demi akses miskin perkotaan atas pangan murah, tetapi petani menderita; atau haruskah dilakukan pengadaan beras dalam negeri yang secara faktual lebih mahal, tetapi petani untung, dengan risiko penduduk miskin, terutama perkotaan, yang harus memikul beban.
Sudah sejak lama harga beras dalam negeri ditetapkan pada harga yang jauh lebih tinggi dari harga beras dunia. Per 1 Oktober 2005, harga beras IR I, II, dan III masing-masing ekuivalen dengan 285 dollar AS per metrik ton (MT), 270 dollar AS/MT, dan 245 dollar AS/MT.
Sedangkan harga beras internasional seperti Thailand lima persen, 15 persen, dan 25 persen, masing-masing pada level 196 dollar AS/MT, 186 dollar AS/MT, dan 174 dollar AS/MT. Insentif ekonomilah, dengan persetujuan politik, yang menyebabkan impor beras kerap dilakukan meski dengan risiko yang harus ditanggung petani Indonesia.
Demi alasan inilah Presiden Susilo Bambnag Yudhoyono memberikan tiga hal yang harus menjadi pegangan: impor beras jangan sampai merugikan petani dalam negeri; ditujukan guna membantu konsumen mendapatkan harga yang terjangkau; menjamin stok pangan nasional (Kompas 22/11/2005).
Kebijakan harga beras
Kebijakan harga beras telah menjadi basis kebijakan pangan dan beras lebih dari 300 tahun sejak masa kolonial. Sayang, nature dari kebijakan harga pangan hari ini amat berbeda dengan asal-muasalnya.
Pemerintah Kolonial Belanda selalu menginginkan harga buruh murah bagi investasi pertaniannya di Nusantara. Karena itu, harga dasar pangan dan beras selalu ditekan rendah sepanjang waktu demi upah yang rendah (Mears and Moeljono 1981:23-24).
Harga beras dalam negeri Indonesia, terutama sejak Orde Baru, sengaja dipatok lebih tinggi dari harga beras dunia karena dua alasan klasik tetapi nyata, yakni insentif ekonomi dan insentif politik. Insentif politik yang didapat, dengan harga dalam negeri lebih tinggi, kaum petani, mayoritas peserta pemilu adalah target empuk para calon rezim penguasa untuk menguber janji, mendapat keuntungan.
Sedangkan insentif ekonomi adalah dengan harga impor yang kerap lebih murah, bila terjadi krisis produksi dalam negeri seperti tahun 1960an, pemerintah gampang mengimpor tanpa membebani fiskal. Trauma tahun 1960-1965 di mana produksi nasional gagal, sedangkan tidak punya uang untuk impor pangan, masih terbawa hingga kini.
Beban memberi makan 4,6 juta pegawai negeri sipil (PNS) dan 0,5 juta militer (World Bank 2000) memaksa pemerintah harus punya stok tetap di gudang-gudang Bulog. Pada zaman Orde Baru, kebijakan politik tetapi tidak ekonomis ini amat berelasi dengan voting dalam pemilu. Namun, untuk pemenuhan kebutuhan beras para abdi negara ini, impor beras menjadi pilihan ekonomis pemerintah.
Privatisasi Bulog dan perizinan impor beras oleh swasta memberi ruang besar bagi impor pangan. Di sinilah kontroversi dimulai. Pemerintah selalu tertarik mengadakan beras melalui impor yang secara nyata jauh lebih murah dan merugikan petani, tetapi menghemat fiskal. Karena itulah, ritme komitmen politik untuk melindungi petani cenderung naik turun, dengan embel-embel demi pangan yang murah bagi warga miskin kota.
Pemerintah, risk bearer
Kontroversi impor pangan dan bantuan pangan internasional terjadi tahun 1999, yang oleh kalangan civil society Indonesia dituduhkan sebagai upaya crisis manufacturing demi justifikasi impor pangan, yang angkanya mencapai lebih dari tiga juta ton (lihat FAO 2005) dan bantuan pangan per kapita mencapai 6.5 kg/orang/tahun. Rasionalitas impor pangan itu tidak dukung data yang kuat karena ekuivalen padi-beras selalu pada kisaran 200-216 kg/orang/ tahun sejak tahun 1996-2003.
Di Indonesia, petani tidak banyak menikmati harga dasar pangan yang adil, tidak seperti di Inggris yang memproteksi petaninya lewat CAP dan USA lewat Farm Bill-nya. Tumpuan ketahanan pangan petani beras adalah pada harga beras. Sayang, harga yang adil bagi petani identik dengan naiknya harga pangan. Sedangkan kaum miskin kota, yang kian meningkat dari tahun ke tahun, justru membutuhkan pangan murah demi akses yang lebih baik bagi kaum miskin.
Pemerintah seharusnya memiliki komitmen kuat pembelian dalam negeri, meski dengan risiko harga lebih mahal, petani mampu diproteksi, tetapi pada saat sama harga pangan di pasar dipatok lebih rendah.
Pilihan ini memang tidak populer bagi ekonom-ekonom antiproteksi. Toh, salah satu asumsi cerdas adalah selisih harga pembelian luar negeri dan dalam negeri yang harus dipikul pemerintah adalah bagian dari subsidi harga brutal BBM.
Pemerintah harus selalu menjadi risk bearer, bukan petani atau kaum miskin kota dan desa.
Jonathan Lassa Alumnus University of East Anglia UK, dengan Disertasi Politik Pangan dan Bantuan Pangan: Studi Kasus Indonesia 1950-2003
0 Comments:
Post a Comment
<< Home