Tuesday, December 13, 2005

Kelaparan Yahukimo Disengaja?

Oleh: JONATHAN LASSA (diambil dari KOMPAS edisi 12/12/2005)
Dalam terminologi Disaster Management, kelaparan termasuk kategori slow-on-set disaster, bencana yang terjadi perlahan-lahan. Tidak seperti tsunami atau gempa yang tiba-tiba terjadi dan memakan korban, kelaparan (famine) mengalami proses.

Dilaporkan 55 meninggal dan 112 kritis akibat kelaparan di tujuh distrik di Yahukimo, Papua. Bupati Yahukimo mengungkap alasan klasik, makanan umbi-umbian sudah habis sejak Oktober 2005. Tidak ada makanan lain, masyarakat terlambat menanam. Dengan kata lain, One Pahebol, Sang Bupati, mengatakan, ke-55 orang yang meninggal adalah kesalahan sendiri. Pejabat negara seenaknya mengacungkan telunjuk kepada rakyatnya. Siapa suruh malas dan terlambat menanam pangan?

Kritik Amartya Sen dan Susan George
Karya Sen, The Poverty & Famines (1981), meski dianggap klasik, tetap menemukan gaungnya, terbukti mampu meruntuhkan argumentasi Maltusian mengenai penyebab kelaparan. Argumentasi kaum Maltusian, yang diserang Sen, terwakilkan dalam pernyataan Bupati Yahukimo, terlambat tanam, produksi pangan tidak ada, petani malas, dan seterusnya. Argumentasi Sen terkesan lebih populis, bukan kurangnya pangan dalam negara, tetapi karena ketiadaan akses (entitlements) atas pangan.

Sedangkan How Other Half Dies (1976), karya Susan George, yang juga dianggap klasik terasa provokatif. George mengusung semangat antikapitalisme global yang dalam praktik kerap mengisap termasuk petani negara dunia ketiga. Untuk memahami relevansi George, mungkin orang harus membaca food access model- nya Piers Blaikie, profesor emeritus yang agak kiri yang pernah membuat turunannya bisa diterapkan untuk level lokal seperti di Yahukimo.

Mengapa di Yahukimo ada yang menikmati kelebihan pangan dan lainnya mati kelaparan?
Inti dua argumentasi itu adalah swasembada pangan sebagai indikator keberhasilan produksi dan ketersediaan bukan faktor dominan dalam ketahanan pangan. Faktor ketersediaan mirip argumentasi Perum Bulog yang berkeras harus impor pangan guna mempertahankan stok pangan nasional.

Indonesia memiliki produksi ekuivalen padi-beras 200-216 kg per orang/tahun, sedangkan konsumsi beras per kapita nasional yang diperlukan berkisar 115,5 kg. Cadangan pangan cukup besar, yang kalau mau bisa langsung beli dari petani untuk dijadikan stok di Perum Bulog. Lepas dari kontroversi Perum Bulog, secara nasional ada indikasi Indonesia aman pangan, tetapi justru di sinilah letak kekeliruannya. Ketahanan pangan (food security) justru jarang berelasi dengan faktor-faktor itu, tetapi berelasi dengan isu-isu kedaulatan pangan, benih, dan akses atas pangan (food entitlements).

Kedaulatan pangan Yahukimo kritis
Saat konflik tahun 2003, harga beras di sekitar lembah Baliem Rp 7.000-Rp 20.000 per kg. Dari hasil penelitian saya tahun 2004 di Wamena, beras mendapat porsi 20 persen dari total konsumsi rumah tangga mingguan, setara 225.000 per KK setiap minggu.

Peralihan dari ethno-food seperti hipere (ubi jalar) ke beras justru membuat keprihatinan. Daerah Yahukimo sulit bisa swasembada beras. Mereka bergantung pada beras dari luar, membuat kondisi pangan kian rumit. Padahal, jauh sebelum tahun 1954, saat Yahukimo belum bersentuhan dengan dunia luar, masyarakat hidup dari produksi hipere (food crop).
Keterisolasian kerap menjadi sasaran empuk alasan kelaparan. Modus tunggal udara membuat semuanya serba mahal. Ketika harga bensin di Jakarta masih Rp 2.200, bensin di lembah Baliem rata-rata dijual Rp 17.000-Rp 20.000. Harga energi ini telah memengaruhi harga pangan, termasuk hipere yang cash crops.

Kondisi pangan lembah Baliem, yang umumnya hipere (ubi jalar), ditanam dan dipanen hari demi hari. Konsep food stocking komunitas Yahukimo adalah disimpan di tanah. Asalinya, mereka tidak kenal sistem panen per musim (one off harvesting). Panen berbasis harian.
Sayang, pemerintah lokal kerap tidak percaya diri dan menggebu-gebu memperkenalkan bibit unggul, dengan iming- iming hasil berlipat. Padahal, kerap kali bibit unggul hipere menuntut sistem storing dan stocking berbeda. Konsep storing modern, yang membutuhkan gudang dan ruang bersuhu tertentu, amat mahal selain mudah untuk expired. Benih asli hipere lembah Baliem terkenal lebih cocok dengan budaya tanam orang asli.

Kebijakan yang kerap memaksa perubahan tanam tradisional ke bibit unggul versi outsiders berakibat terlucutinya kedaulatan orang lokal atas pangan dan benih yang lebih compatible dengan ekologi dan kultur Baliem dan Yahukimo.
Tahun 1997/1998 saat Wamena dan sekitarnya, seperti Yali, mengalami kekeringan (El Nino) yang berakibatkan kelaparan, hipere gagal produksi. Meski demikian, Manuel Boissiere (2002) mencatat, khususnya di Yali, masih ada sedikitnya 21 jenis pangan lokal sebagai cadangan masa krisis, yang sebenarnya tak tersentuh kebijakan pangan pemerintah lokal.

Ketahanan pangan politis
Bagi yang skeptis berargumentasi, ada motif penciptaan krisis demi proyek. Namun, fakta kematian di Yahukimo yang berelasi erat dengan kelaparan mengingatkan pemerintah masih mengelola ketahanan pangan nasional secara sloganisme, penuh retorika: HAM atas Pangan,pendekatan berbasis hak.

UU No 7/1996 tentang Ketahanan Pangan mengatakan, ketahanan pangan adalah: Kondisi di mana terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan adanya jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata, dan kemampuan membeli.

Pertanyaannya, mengapa Bupati Pahebol memiliki jawaban lengkap atas masalah pangan di Yahukimo setelah 55 orang meninggal dan 112 sekarat? Mengapa aneka penjelasan versi negara jarang terjadi secara ex-ante, tetapi ex post?

Aneka perilaku politik yang tidak sopan seperti ini sering memaksa saya berkesimpulan, kelaparan dan kematian di Yahukimo adalah interaksi yang sengaja antara bencana pembangunan dan pembangunan bencana.

Penulis adalah Alumnus University of East Anglia UK, dengan Disertasi Politik Pangan dan Bantuan Pangan: Studi Kasus Indonesia 1950-2003

0 Comments:

Post a Comment

<< Home