Bumi Tidak Tenang: Sebuah Studi Kasus tentang Gempa Bumi di Alor
Sebuah Paper "Theologi Bencana" dari Perspektif Kristen
Bumi Tidak Tenang: Sebuah Studi Kasus tentang Gempa Bumi di Alor[1]
John Campbell-Nelson
Pada tanggal 12 Nopember 2004 kepulauan Alor digoncang oleh sebuah gempa bumi tektonik yang berukuran 7 pada skala Richter. Walaupun Alor-Pantar telah berulang kali mengalami gempa, nampaknya kali ini yang paling dahsyat. Ribuan rumah penduduk hancur bersama ratusan sekolah, kantor dan rumah ibadat. Tercatat 33 orang yang meninggal dan ratusan yang terluka.
Terluka juga adalah ketentraman hidup sebagian penduduk Alor. Bersama dengan tantangan untuk membangun kembali kehidupan mereka adalah tantangan iman: “Mengapa Tuhan menghukum kami? Apakah dosa kami lebih besar dari dosa orang lain sehingga kami harus mendapat ganjaran yang sedemikian berat?” Tentu perasaan ini berubah setelah gempa dan tsunami di Aceh menelan korban yang tak terbilang lebih banyak dan lebih tragis. Namun peristiwa tsunami di Samudera India justru membuat pertanyaan teologis lebih terasa urgen. Bagaimana sebagai orang beriman kita bisa memperhadapkan bencana yang begitu besar dengan pengakuan kita tentang Allah sebagai Pencipta langit dan bumi yang mengasihi dan memelihara dunia ciptaanNya? Kalau bencana dianggap sebagai pelajaran dari Tuhan supaya kita lebih dekat kepadaNya, apa yang dipelajari oleh sebuah kampung yang musnah total? Apa yang dipahami tentang Tuhan oleh seorang anak yatim piatu yang melihat orang tuanya diambil oleh gelombang tsunami? Atau orang tua yang anaknya dirampas dari tangannya? Apa bedanya “Allah” yang begitu ganas dengan Iblis?
Dalam upaya untuk mendalami permasalahan ini dan menemukan pendekatan pastoral terhadap trauma yang dialami umat di Alor, kami telah dua kali mengadakan dialog dengan sejumlah pendeta dan tokoh jemaat pada bulan Desember 2004, di Kalabahi dan di Lantoka, Alor Timur. Refleksi yang berikut ini merupakan rangkuman dari diskusi itu dalam bentuk sebuah studi kasus. Dengan demikian, tulisan ini merupakan sebuah karya kolektif, walaupun penulis sendiri bertanggung jawab atas kesimpulan-kesimpulan yang ditarik.
12 Nopember: Bumi Berantakan
Selama beberapa hari, terdengar bunyi gemuruh dari arah laut, seolah-olah ada guntur di dalam air. Burung-burung laut pun terbang menuju gunung-gunung. Beberapa orang tua meramalkan akan terjadi sesuatu…
Pagi hari tanggal 12 Nopember, sekitar jam setengah enam, bumi bergoncang. Rumah-rumah bergoyang dan terdengar bunyi retakan dari mana-mana. Lempengan-lempengan tembok berjatuhan dan debu naik seperti asap. Orang yang sudah di luar mencari tempat yang terbuka dan duduk di tanah saja karena sulit berdiri. Mereka yang masih di dalam rumah berusaha ke luar, namun sulit berjalan karena bumi seolah-olah mencair di bawah kaki. Orang tua mengingat anak yang masih tidur di kamar, berteriak atau lari kembali ke dalam. Ada yang membeku di tempat dan menangis ketakutan, ada juga yang masih tidur nyenyak. Di mana-mana terdengar suara orang yang memanggil mencari anggota keluarga, tercampur dengan teriakan orang yang tertendes di bawah reruntuhan rumahnya.
Pohon-pohon pun berjatuhan dan batu-batu besar terguling dari lering bukit. Tanah terbelah selebar dua meter di berbagai tempat. Di persawahan Bukapiting, saluran air terbelit dan terpatah-patah, dan tanah sawah bergelombang. Mata air-mata air tertimbun oleh tanah longsor atau tertelan saja oleh bumi; adapun kali yang terbendung. Jalan pantai utara tertutup di beberapa tempat oleh longsoran dan terputus oleh jembatan yang jatuh.
Di berbagai tempat laut tiba-tiba menyurut jauh sehingga ada yang lari ke pantai untuk memilih ikan. Di Maritain, Alor Timur, sebaliknya ada gelombang tsunami berskala kecil yang membuat masyarakat melarikan diri ke bukit-bukit. Seorang nelayan terdampar sampai ke tengah hutan bersama sampannya.
Setelah goncangan berkurang, penduduk berusaha merawat mereka yang terluka, mengeluarkan barang-barang berharga yang masih bisa diselamatkan dari rumah, dan mulai berjalan keliling kampung untuk mencari tahu keadaan tetangga dan sanak saudara. Banyak yang berkumpul di kintal gereja untuk berdoa dan saling menghibur sambil meratapi rumah ibadah yang hancur.
Berhari-hari setelah goncangan utama terdapat gempa-gempa susulan—ratusan kali yang terasa oleh manusia, tapi ribuan kali menurut alat-alat seismologi. Ratusan orang dari Alor Timur mengungsi ke Kalabahi (ibu kota Kabupaten Alor) untuk berlindung di bawah tenda-tenda. Selama seminggu lebih kebanyakan orang tidur di kintal atau di pinggir jalan karena tidak berani tidur di rumahnya, biarpun rumah masih utuh. Rumah Sakit Umum juga pindah di luar menjadi rumah sakit tenda yang dipadati oleh lebih dari 200 korban luka-luka.
Yang tidak lari ke kota lari ke gunung karena terdengar isu bahwa laut akan naik dan menelan dataran di pesisir. Di Bukapiting hampir tidak ada lagi bangunan yang masih berdiri, dan selama beberapa hari kota kecamatan itu ibarat kota hantu.
Mencari Penyebab…
Akibat goncangan beberapa minit saja, ribuan orang di Alor kehilangan segala sesuatu, kecuali nyawanya sendiri. Keluarga-keluarga kehilangan rumah dan perabot, kampung-kampung kehilangan sumber air, anak-anak kehilangan sekolah, jemaat kehilangan rumah ibadah, petani kehilangan sawah (bahkan kebun juga, akibat longsoran). Dan ada puluhan keluarga yang kehilangan saudaranya yang meninggal akibat gempa bumi.
Siapapun yang dilanda bencana sebesar itu akan bereaksi: ada yang menangis tak berhenti, ada yang kebingungan, ada yang bermimpi buruk atau tidak bisa tidur. Adapun yang marah tanpa sasaran yang jelas. Banyak yang mengalami suatu rasa tidak aman yang sangat mendalam. Dan barangkali hal ini yang paling menyedihkan dari fenomena gempa bumi: rumah kita sendiri, yang seharusnya merupakan tempat perlindungan yang paling aman, justru menjadi ancaman terbesar. Terhadap pengalaman kehilangan yang begitu luas, mungkin perasaan yang paling umum terdapat adalah suatu rasa duka cita yang tidak terfokus pada hal-hal tertentu, melainkan merangkul suatu kesedihan kolektif.
Berhadapan dengan bencana seperti ini, manusia secara alamiah, mau tidak mau, harus mencari makna: Mengapa ini harus terjadi? Apa atau siapa penyebabnya?
Dalam beberapa minggu setelah gempa bumi, telah berkembang sekitar tiga teori populer tentang sebabnya, dengan teori yang keempat yang muncul kemudian setelah pemahaman ilmiah tentang geologi mulai diperkenalkan.
Yang pertama, ada yang mencatat bahwa pusat gempa terjadi tidak jauh dari tempat di mana belum lama dimulai pengeboran oleh Dinas Pertambangan dalam rangka eksplorasi panas bumi sebagai potensi energi. Dekat lokasi itu sudah lama ada air panas/air belerang. Sebagian masyarakat menduga bahwa pengeboran tersebut menyentuh suatu kandungan panas bumi yang sangat besar sehingga menyebabkan ledakan bawah tanah yang dahsyat. Oleh karena itu, mereka cenderung mempersalahkan pemerintah kabupaten dan Dinas Pertambangan.
Teori yang kedua masih terfokus pada lokasi pengeboran panas bumi, tapi lebih bersifat mitologis. Ada cerita rakyat bahwa seorang nenek yang mempraktekkan ilmu sihir (disebut suanggi) pernah dikuburkan hidup-hidup di lokasi itu. Amarah nenek tersebut menggejalah dalam air belerang dan ketika “kuburannya” diganggu oleh pengeboran, maka ia menggoyang bumi. Dalam versi lain, pulau Alor ditopang oleh seekor naga raksasa yang terbangun dari tidur oleh pengeboran. Dua versi ini cenderung membangkitkan amarah baik terhadap pemerintah maupun terhadap tua-tua adat setempat yang tidak minta izin dari roh “penguasa” setempat sebelum mulai pengeboran.
Teori yang ketiga, yang nampaknya merupakan reaksi sejumlah tokoh gereja terhadap kedua teori pertama, adalah bahwa gempa bumi ini adalah hukuman Tuhan terhadap dosa-dosa orang Alor, atau paling sedikit sebuah “teguran” untuk membawa umat manusia lebih dekat pada Tuhan. Penjelasan ini terutama diangkat untuk mempertahankan kedaulatan Allah melawan kuasa-kuasa yang lain, entah kuasa teknis/moderen yang diwakili oleh Dinas Pertambangan atau kuasa primordial dari suanggi dan naga.
Namun penjelasan ini justru menuntut sejumlah penjelasan susulan yang tidak begitu gampang dijawab: Apakah dosa orang Alor lebih besar dari dosa orang lain sehingga Alor harus “kena rotan Tuhan” dan orang lain tidak? Harga diri orang Alor sulit menerima kesimpulan seperti itu; seolah-olah mempersalahkan korban sendiri. Dari sisi lain, kalau sebuah malapetaka membuat orang “ingat Tuhan” secara mendadak, maka hal itu tidak berarti bahwa Tuhan sengaja menyebabkan malapetaka. Penumpang bis yang celaka berteriak, “Tuhan tolong!”, tapi itu tidak berarti bahwa Tuhan mencelakakan bis yang mereka tumpangi. Penjelasan bahwa malapetaka ini merupakan teguran Tuhan muncul secara spontan dari teologi rakyat, namun ia mengundang penolakan yang spontan juga: “Ini bukan hukuman Tuhan!”
Di tengah-tengah kemelut tentang penyebab gempa bumi, ada yang berupaya untuk memberikan penjelasan berdasarkan ilmu bumi. Diketahui bahwa Alor terletak tidak jauh dari pertemuan lempengan bumi yang memikul benua Australia dengan lempengan Euro-Asia. Karena lempengan Australia perlahan-lahan bersesakan dengan lempengan Euro-Asia, maka tekanan mulai menumpuk di titik temunya. Pada akhirnya, tekanan itu melebihi daya tahan lempengan bumi sehingga terjadi pergeseran atau patahan secara tiba-tiba. Itu yang kita rasakan sebagai gempa bumi. Lokasi Alor yang dekat titik temu antara lempengan-lempengan bumi menjelaskan mengapa Alor rentan terhadap gempa bumi (sama hal dengan Sumatera, sebenarnya). Prilaku moral dari penduduk Alor mungkin tidak berpengaruh terhadap pergerakan tektonik. Selain itu, karena titik goncangan terjadi puluhan kilometer di bawah permukaan bumi, maka tidak mungkin pengeboran yang hanya mencapai beberapa ratus meter bisa menyebabkan gempa. Salah satu orang tua menarik analogi: “Itu seperti mau bilang garuh kepala bisa bikin sakit perut.”
Mendengar penjelasan seperti di atas, apalagi disertai dengan gambar-gambar dan alat peraga, pada umumnya warga Alor bisa menerimanya. Dari satu segi, mereka puas karena lebih memahami penyebab penderitaan mereka—sama seperti orang yang mengalami strok memerlukan penjelasan dari dokter tentang sebab-sebab mengapa mulutnya bengkok, kaki keram dan tangan kanan tidak lagi taat pada pemiliknya.
Namun dari segi lain, mereka masih belum puas. Sebuah penjelasan ilmiah belum menyentuh kebutuhan mereka untuk memetik makna dari peristiwa ini untuk kehidupan mereka selanjutnya, terutama pemahaman mereka tentang “campur tangan Tuhan” dalam peristiwa ini. Kalau memang gempa bumi terjadi karena pergerakan lempengan-lempengan bumi, maka Ia yang menciptakan bumi yang pada akhirnya harus dilihat sebagai penyebab utama. Sehingga pertanyaan mereka tinggal tetap: Mengapa Allah menciptakan bumi yang tidak tenang?
Pertanggungjawaban Allah?
Ada sejenis cerita rakyat yang bertujuan menjelaskan hal-hal yang membingungkan: Mengapa gajah punya belalai? Mengapa leher jerapah begitu panjang? Mengapa Tuhan menciptakan nyamuk? Beberapa ceritera seperti ini muncul dalam Alkitab juga: Mengapa manusia memiliki begitu banyak bahasa? (Kej. 11) Dari mana asal-usul pelangi? (Kej. 9) Selain sebagai alat untuk menghibur dan mengajar anak-anak, ceritera-ceritera seperti ini memberi keyakinan bahwa segala hal, betapapun misterius, ada sebabnya dan ada alasannya, asal saja kita tahu ceritanya.
Pada umumnya di zaman sekarang fungsi ceritera-ceritera rakyat seperti ini telah diganti, entah oleh penjelasan-penjelasan ilmiah di satu segi, atau oleh rumusan-rumusan teologis sistematis di segi yang lain. Antropolog terkenal, Bronislaw Malinowski, telah menggambarkan proses pergeseran ini dalam bukunya Magic, Science, and Religion. Menurut Malinowski sebuah keutuhan primordial yang bersifat magis-mitologis telah berevolusi menjadi pembidangan pengetahuan manusia menurut dua cabang utama: ilmu dan agama. Ilmu mengutamakan aspek teknis-operasional, sedangkan agama mengutamakan nilai-nilai dan makna. Dalam konteks gempa bumi di Alor, misalnya, ceritera tentang suanggi dan naga digeser oleh penjelasan ilmiah tentang gempa tektonik dan penjelasan teologis tentang “teguran Tuhan”.
Masalah yang dihadapi sekarang adalah bahwa belum ada titik temu di antara penjelasan menurut ilmu bumi dan penjelasan teologis yang ditawarkan. Apakah hubungannya di antara sebuah proses tektonik yang berjalan selama jutaan tahun mengikuti dinamika geologis yang berdampak pada seluruh muka bumi dan sebuah pesan khusus dari Tuhan kepada masyarakat Alor karena dosa-dosanya sampai dengan Nopember 2004 sudah menjadi terlalu berat? Sebenarnya pertanyaan seperti ini hanylah salah satu dari sekian banyak pertabrakan di antara ilmu dan agama yang merupakan kondisi kronis bagi manusia “moderen”. Namun kalau tidak ada upaya untuk mempersatukan keduanya, kita terancam menjadi schizofren.
Masalah ini bukan hanya masalah intelektual. Pemahaman yang pada akhirnya diterima oleh masyarakat akan berdampak pada langkah-langkah mereka dalam membangun kembali kehidupan pasca gempa. Kalau penyebabnya adalah amarah Tuhan, maka bertobat dan berdoa merupakan tindakan pencegahan yang paling efektif. Membangun rumah atau gereja dengan konstruksi tahan gempa menjadi tidak relevan. Kalau gempa terjadi akibat amarah arwah nenek moyang, sekali lagi tindakan pemulihan ritual yang penting, bukan arsitektur. Dari segi lain, kalau gempa difahami hanya dari segi ilmiahnya, maka sumber daya agama untuk menyembuhkan luka hati dan membangkitkan kembali semangat hidup orang Alor akan menjadi sia-sia.
Ada saja sebuah penjelasan yang dapat mempertemukan segi geologis dengan segi teologis dari masalah ini, tapi bukan semua orang beriman akan siap menerima implikasinya. Dari segi ilmu bumi, kita tahu bahwa tanah yang terekspos pada hujan dan angin mengalami erosi. Perlahan-lahan air hujan mengikis gunung batu dan meratakan tanah. Sebaliknya, gerakan tektonik secara kontinyu mengangkat tanah baru keluar dari laut, entah secara langsung ketika lempengan yang satu naik di atas lempengan yang lain, atau secara tidak langsung ketika lempengan bumi tertendes turun oleh lempengan yang lain sampai menemukan panas bumi (“magma”) dan meletus kembali ke permukaan sebagai gunung api.
Dengan demikian, di antara erosi yang mengikis tanah dan gerakan tektonik yang mengangkat tanah baru, maka permukaan bumi senantiasa (walaupun perlahan-lahan sekali) diperbaharui. Sebagai bukti, sebut saja fakta bahwa puncak dari Gunung Everest, titik yang tertinggi di bumi, terdiri dari batu karang yang berasal dari dasar laut.
Kalau sekarang kita beralih pada perspektif teologis, maka seluruh proses yang digambarkan di atas dapat difahami sebagai karya Allah sebagai Pencipta. Sudah lama dikenal dalam tradisi teologis konsep creatio continuo (penciptaan terus-menerus), yaitu bahwa karya Allah dalam penciptaan bukan sekali jadi, kemudian dilepaskan pada “hari yang ketujuh”. Justru pada hari kedelapan Allah melanjutkan karyanya sampai sekarang. Dalam hal gerakan tektonik dapat dikatakan bahwa dengan cara ini Allah memperbaharui permukaan bumi. Kalau tidak ada gerakan yang mengangkat tanah baru, maka sudah lama tanah dan gunung terkikis oleh erosi sampai permukaan bumi menjadi rata, dan semuanya ditutupi oleh air laut. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada tanah kering untuk dihuni oleh manusia dan kita semua harus menjadi ikan.
Konsekwensi dari perspektif ini adalah bahwa gempa bumi perlu dilihat sebagai akibat sampingan dari karya Allah dalam mengangkat tanah yang baru. Dalam perkataan yang sederhana, Allah sedang menumbuh-kembangkan pulau Alor dan gempa bumi merupakan tanda karya Allah tersebut sekaligus risiko yang, mau tidak mau, harus dihadapi oleh manusia yang menghuni wilayah kerja Allah.
Ketika perspektif ini diangkat dalam diskusi bersama para pendeta dan penatua di Alor, nampaknya mereka merasa puas. Informasi yang mereka terima dari sudut pandang ilmu bumi dapat disesuaikan dengan tradisi iman yang selama ini mereka yakini dengan cara yang serasi dan tidak bertolak belakang. Kecocokan di antara realitas dan iman tidak lagi terobek.
Kalau begitu, mengapa kami mencatat di atas bahwa bukan semua orang mau menerima penjelasan seperti ini? Justru karena penyebab gempa bumi tidak lagi dilihat dari perspektif moral (hukuman Tuhan), maka mereka merasa “terekspos” pada marabahaya. Kalau gempa adalah hukuman Tuhan, masih ada langkah pencegahan yang dapat kita lakukan (bertobat dan berdoa); tapi kalau gempa merupakan bagian yang integral dari cara kerja Tuhan dalam memelihara bumi ini, maka manusia tidak bisa buat apa-apa untuk menghindarinya. Tinggal pilihan untuk menerima risiko atau pindah ke daerah yang jauh dari gerakan tektonik.
Kedua pandangan yang berbeda ini nampak dalam tradisi Alkitab, mungkin paling terang dalam dialog Ayub dengan Elifas. Melihat sahabatnya dalam keadaan yang amat parah, maka Elifas pada mulanya mau menghibur Ayub. Tetapi setelah mendengar keluhan Ayub yang begitu pahit, maka Elifas nampaknya merasa tersinggung, dan mungkin sedikit ngeri dan ketakutan. Maka ia menantang Ayub dengan teologi yang kurang lebih ortodoks pada zamannya:
Sesungguhnya, engkau telah mengajar banyak orang…
tetapi sekarang, dirimu yang tertimpa, dan engkau kesal,
dirimu terkena, dan engkau terkejut.
Bukankah takutmu akan Allah yang menjadi sandaranmu,
dan kesalehan hidupmu menjadi pengharapanmu?
Camkanlah ini: siapa binasa dengan tidak bersalah
dan di manakah orang yang jujur dipunahkan?
Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan
dan menabur kesusahan, ia menuainya juga…
Sesungguhnya, berbahagialah manusia yang ditegur Allah;
sebab itu janganlah engkau menolak didikan Yang Mahakuasa.
Ayub 4.3-8, 5.17
Di belakang perkataan Elifas adalah tradisi Ulangan yang secara gamblang menyatakan bahwa siapa yang taat pada aturan Allah akan makmur dan umur panjang, dan siapa yang melanggar aturan Allah akan mendapat hukuman dan umur pendek. Tidak sulit untuk menarik implikasinya bagi Ayub: karena Ayub mengalami penderitaan yang begitu berat, maka dosanya pasti berat juga. Tinggal Ayub menerima “teguran Allah”, mengaku dosanya, dan pasti Allah akan memberi pengampunan dan pemulihan—demikian Elifas.
Kita tidak perlu berdebat dengan Elifas lagi; Ayub sudah menjawabnya dengan cukup cerdas. Ayub pada dasarnya setuju dengan Elifas, hanya Ayub tidak merasa diri berdosa setimpal dengan hukumannya dan dia tidak rela berpura-pura dengan Tuhan. Yang kami mau perhatikan di sini adalah kecemasan yang terkandung dalam pembicaraan Elifas. Mulai dari rasa ngeri dan mungkin jijik dengan keadaan Ayub, ia tersinggung lagi dengan ketegasan Ayub bahwa penderitaannya tidak adil. Ayub ternyata tidak membawa diri sebagaimana layaknya seorang pendosa yang kena hukuman Tuhan. Tapi kami mencurigai bahwa yang lebih mendasar adalah bahwa Elifas takut, jangan-jangan Ayub benar, dan ternyata kesalehan tidak dapat melindungi manusia dari malapetaka.
Baik bagi Elifas maupun bagi cukup banyak warga Kristen sampai sekarang, kemungkinan bahwa iman tidak ampuh sebagai perisai terhadap marabahaya merupakan ancaman yang menakutkan. Mereka lebih memilih untuk menafsirkan malapetaka sebagai hukuman Tuhan—biarpun dosa yang menyebabkannya harus dicari-cari—daripada menerima kemungkinan bahwa baik orang fasik maupun orang beriman dapat mengalami nasib malang yang sama.
Kalau tanggapan Elifas hanya menyangkut dirinya sendiri barangkali kita tidak perlu mempersoalkannya. Biar dia memegang pada keyakinannya kalau itu yang menjadi hiburan dan sandaran hidupnya, apalagi karena ada landasan Alkitabiah. Dan kalau Elifas sendiri mengalami malapetaka, biar dia mengaku dosanya kepada Tuhan dan minta pengampunan. Tetapi yang menjadi persoalan adalah bahwa pandangan Elifas menuntut bahwa dalam setiap malapetaka harus ada biang keladi; harus ditemukan pendosa yang kesalahannya mendatangkan malapetaka. Kalau hanya seorang Ayub sendirian yang malang, biarlah dia menanggungnya. Tetapi kalau terjadi bencana yang berdampak pada masyarakat luas, maka sikap ini bisa menjurus pada mekanisme kambing hitam.[2] Seorang Nabi Yunus harus dilempar ke dalam laut baru badai bisa berlalu (nasib yang juga hampir dialami oleh Rasul Paulus).
Di Alor, petugas kecamatan diancam dan mau dipukul oleh rakyat karena mengizinkan pengeboran dan staf pertambangan tidak berani kembali ke lokasi. Di Aceh, timbul tafsiran bahwa tsunami disebabkan oleh kelalaian masyarakat untuk memberlakukan Syariat Islam secara konsekwen. Perempuan yang tidak pakai kerudung atau jalan berdampingan dengan laki-laki yang bukan suaminya bisa ditangkap dan dicambuk dengan tuduhan bahwa orang-orang seperti itulah yang mendatangkan malapetaka.
Justru karena kecenderungan ini untuk mencari tumbal, maka menjadi sangat penting untuk belajar dari hikmat yang diperoleh Ayub dengan susah payah. Terhadap semua keluhan Ayub, pada akhirnya Allah mulai menjawab:
Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi?
Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!
Ayub 38.4
Dalam menggambarkan sebuah “wisata alam” yang menakjubkan, Allah tidak berbicara sedikitpun tentang keadaan Ayub, melainkan menunjuk pada betapa luas, dalam dan kaya alam semesta yang Tuhan ciptakan dan tetap memelihara. Pada akhirnya Ayub bertobat juga, bukan atas dosanya seperti Elifas bayangkan, tapi karena Ayub memahami bahwa manusia bukan tolok ukur untuk segala karya Allah.
Pelajaran itu yang menjadi tantangan dan sekaligus kesempatan bagi kita berhadapan dengan bencana alam, untuk mencapai suatu pemahaman iman yang berani melepaskan sikap yang anthroposentris dan menempatkan diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan di antara makhluk yang lain, yang tidak bisa menuntut apa-apa dari Sang Pencipta, walaupun kita tetap boleh bersandar pada anugerahNya.
Salah seorang ibu yang kami temukan di depan reruntuhan gerejanya merumuskan pemahaman ini dengan suatu pembalikan dari Ayub 1.21: “Semua yang kita punya, Tuhan yang berikan. Sekarang, Tuhan sudah mengambil kembali. Tapi Tuhan akan memberi lagi.”
Membangun Kembali
Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” Yoh. 9.1-3
Setelah menggumuli permasalahan teologis di sekitar bencana yang melanda mereka, para peserta dialog sepakat akan satu keyakinan yang mendasar: apapun sebabnya sebuah gempa bumi, Tuhan tidak menghendaki umatNya tinggal tetap dalam puing-puing. Seperti waktu Yesus diperhadapkan dengan teka-teki tentang seorang yang buta sejak lahir, Ia menolak untuk mencari salah dan memilih untuk mencari kebaikan: Ia menyembuhkan si buta tanpa bertanya-tanya lagi tentang dosa.
Hal ini juga menjadi prinsip dalam para pelayan di Alor menanggapi bencana. Mereka sepakat bahwa perlu dihindari segala upaya untuk mencari kesalahan, entah mempersalahkan diri sendiri atau pihak lain, dan berfokus pada upaya untuk membangun kembali. Landasan teologis yang mereka temukan bersama menjadi bekal dalam pelayanan itu, tapi bukan ajaran yang harus dipaksakan, seolah-olah membuat katekisasi di tengah-tengah krisis. Mereka juga menyadari bahwa kalau mereka tidak mau mengulangi kesalahan Elifas, mereka harus menolak godaan untuk memanfaatkan bencana sebagai kesempatan pekabaran injil yang oportunistis.
Yang lebih penting adalah pendampingan pastoral untuk menuntun orang keluar dari sok dan duka cita dan mulai menyambung hidup kembali. Untuk menunjang pekerjaan pastoral itu, diadakan sebuah lokakarya kilat tentang pendampingan korban trauma. Garis besar lokakarya tersebut dapat dilihat pada lampiran.
Kami mengakhiri refleksi ini dengan bacaan dari Yesaya 61.4-7, yang juga dibacakan pada penutupan lokakarya:
Mereka akan membangun reruntuhan yang sudah berabad-abad,
dan akan mendirikan kembali tempat-tempat yang sejak dahulu menjadi sunyi;
mereka akan membaharui kota-kota yang runtuh,
tempat-tempat yang telah turun-temurun menjadi sunyi…
Sebagai ganti bahwa kamu mendapat malu dua kali lipat,
dan sebagai ganti noda dan ludah yang menjadi bagianmu,
kamu akan mendapat warisan dua kali lipat di negerimu
dan sukacita abadi akan menjadi kepunyaanmu.
[1] Dari Teologi Bencana, ed. Zakaria Ngelow dkk. (Makassar: Yayasan OASE Intim, 2006), hlm. 95-110.
[2] Bandingkan dengan berbagai karya René Girard: I See Satan Fall Like Lightning (Maryknoll, NY: Orbis Books, 2002) dan Ayub, Korban Masyarakatnya (diterjemahkan oleh Daniel K. Listijabudi; Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003).
1 Comments:
Terima kasih, baik sekali
Post a Comment
<< Home