Tuesday, January 08, 2008

Paradoks Wildavsky? - Rabu, 09 Januari 2008 (Opini Kompas)

Paradoks Wildavsky?

Jonatan Lassa

"Any failure to mitigate hazards is shown up in their impacts." (Prof David Alexander)

Jika perlu diringkaskan dalam dua kata tentang kemajuan pengelolaan bencana di Indonesia dalam tiga tahun kepemimpinan SBY-Kalla, penulis menyebutnya sebagai Paradoks Wildavsky, yang diartikan sebagai paradoks doing better, feeling worst.

Di atas kertas, SBY-Kalla patut berbangga karena kebijakan penanganan bencana mereka lebih baik dari rezim-rezim sebelumnya. Mulai dari UU Bencana No 24/2008, Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana, hingga masuknya anggaran mitigasi bencana dalam APBN.

Berpikir jangka panjang?

Mencermati kejadian banjir Bengawan Solo, penulis belum melihat horizon pemikiran jangka panjang saat Wapres Jusuf Kalla menegaskan "akan melakukan langkah fundamental, menyeluruh, dan bersifat jangka panjang dalam penanggulangan bencana alam banjir dengan pelaksanaan gerakan penanaman satu juta hektar lahan (Gerhan)" (Kompas, 4/1/2008).

Yang pasti, bencana tidak (tetapi kadang) seperti "cinta" yang subyektif, tergantung siapa yang memandang. Bila yang memandang banjir adalah LSM dan pemerhati lingkungan, alasannya klasik, hutan gundul dan pembalakan liar. Ini sering dikenal dengan one-size-fits-all approach. Pendekatan ini terlihat jelas dalam jurus standar Gerhan itu.

Jika ahli teknik yang melihat, sangat mudah ditebak alasan yang dikemukakan, yakni pendekatan teknis engineering yang dipakai. Pengetahuan inilah yang dominan mendorong lahirnya kebijakan khas teknokrat yang tercermin dalam gagasan Menteri Pekerjaan Umum, yang "berjanji akan membangun 20 waduk pengendali banjir" di DAS Bengawan Solo (Kompas, 4/1/2008) dengan justifikasi teknis yang tidak bisa serta-merta disalahkan.

Pada dasarnya, kedua pendekatan itu tidak salah dan saling melengkapi. Namun, ini tidak cukup karena secara empiris, gabungan skenario waduk dan Gerhan tidak serta-merta menyelesaikan banjir, karena itu tidak cukup disebut "pendekatan jangka panjang".

Horizon yang panjang baik dari sisi sejarah bencana (kronologis, rekaman perilaku dalam lintasan zaman, cerita rakyat, hikayat banjir, memori kolektif, dan rekaman Jawa kuno) seharusnya menjadi soko guru agar kita tidak panik dan menafikan pengetahuan lokal yang dinamis dalam penanganan banjir di Solo.

Studi sosiologi bencana juga sering absen dalam analisis banjir di Indonesia. Alhasil, banjir masih dilihat sebagai external agents—yang asing, yang dari alam, dan direduksikan sebagai bencana alam—mirip konsep penanganan bencana di Amerika Serikat 50 tahun lalu, tepatnya pasca-Perang Dunia II, saat lembaga-lembaga penanganan bencana adalah bekas lembaga perang saat itu yang memandang banjir dan tornado mirip bom yang hendak dijatuhkan musuh dari atas, yang sulit dikontrol.

Dalam studi bencana, hal ini dinamakan hantu "paradigma perang" yang menghantui praktik penanganan bencana baik di berbagai tempat, termasuk di Indonesia. Sindrom pasca-Perang Dunia II itu masih ditelusuri dalam UU Bencana No 24/2008, terlihat dalam kata "bencana alam", yang juga diulangi oleh Wapres dengan "bencana alam banjir" (Kompas, 4/1/2008).

Belajar dari Belanda lagi?

Dalam konteks pengetahuan penanganan banjir di Indonesia, sebagian bahkan merupakan reproduksi ulang dari zaman Belanda dengan data sejarah banjir sejak abad ke-17 dengan visi pemerintah kolonial dalam menjadikan Jakarta (Batavia) sebagai Amsterdam Baru, yang berfungsi sebagai waterfront city (Caljow et al 2004).

Patut diakui, Belanda adalah negeri yang secara gemilang menghentikan banjir sebagai kutukan alam dengan sejarah yang relatif panjang. Di Belanda, politisi mampu melihat jarak yang panjang antara kejadian banjir dan peristiwa bencana. Entah mengapa, di Indonesia, politisi kerap melakukan short-cut, banjir sama dengan bencana?

Hingga awal abad ke-14, sebagian wilayah darat Belanda masih merupakan daerah genangan. Hal ini menyulitkan penduduk setempat mengklaim kepemilikan lahan. Bisa dimaklumi, jika permukaan laut lebih tinggi, air pasang akan selalu mengaburkan konsep kepemilikan lahan, dan ini diperburuk oleh banjir yang berkajang (Oft and Tsuma 2006).

Periode abad ke-15-16 ditandai giatnya pembentukan polder penahan pasang. Hal ini ditopang kelembagaan lokal yang dibentuk secara demokratis dengan kecirian mobilisasi diri. Dewan keairan (waterschappen) juga mulai terbentuk. Era ini juga ditandai dibentuknya Rijkwaterstaat, semacam "Lembaga Nasional Pengelola Pantai dan Keairan".

Waterschappen kemudian diformalkan tahun 1815 dalam mandat, dengan menangani banjir berkoordinasi erat dengan Rijkwaterstaat. Kerja sama ini masih efektif hingga akhir abad ke-20.

Rantai perkembangan pengetahuan penanganan banjir di Belanda bisa ditelusuri karena dokumentasi pengetahuan yang baik. Tidak terjadi apa yang disebut sebagai hilangnya mata rantai pengetahuan (knowledge loss) tentang banjir di konteks lokal.

Kontras dengan perbedaan persepsi antara Bupati Tuban yang mengatakan, pusat tidak menyetujui usulan tanggul banjir yang diusulkan tiap tahun (Kompas, 5/1/2008). Sedangkan Menko Kesra mengklaim, pusat sudah peduli mitigasi bencana kecuali bahwa daerah tidak memberi perhatian dan ditambahkan "daerah kurang sarana pendukung seperti pesawat helikopter yang bisa dipakai untuk memantau dan memasok bantuan serta obat-obatan" (Kompas Cyber Media, 3/1/2008).

Diktum Prof David Alexander itu bisa disimpulkan sementara bahwa skala dramatis bencana hari ini adalah penegasan atas kegagalan ekonomi politik, termasuk gagal dalam cara pandang menangani bencana dalam perspektif jangka panjang.

Jika di awal tulisan ini asumsinya adalah paradoks Wildavsky, di akhir tulisan ini bisa disimpulkan sebaliknya dalam menjelaskan kemajuan tata kelola bencana Indonesia, yakni feeling better, doing worst.

Jonatan Lassa - PhD Researcher in Disaster Governance, ZEF, University of Bonn

0 Comments:

Post a Comment

<< Home