Wednesday, April 09, 2008

Shock Doctrine: An Excerpt from the Introduction

From book titled The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism

Shock Doctrine: An Excerpt from the Introduction

Diterjemahkan bebas dari artikel oleh Oleh Shelly W.M (PO DM Hivos Aceh)

Saya bertemu Jamal Perry pertama kalinya pada bulan September 2005, di sebuah penampungan besar milik Red Cross di Baton Rouge, Louisiana. Makan malam disajikan oleh seorang scientologist muda yang selalu tersenyum, dan Jamal sedang mengantri di barisan. Saya baru saja ‘kepergok’ berbicara dengan para pengungsi tanpa kawalan pihak pers dan saat ini saya sedang berusaha semampunya untuk membaur, seorang warga Canada berkulit putih diantara lautan warga Afro-Amerika. Aku menyelinap ke dalam antrian di belakang Perry dan memintanya untuk mengobrol denganku seolah kita adalah kawan lama, dan dia bersedia.

Lahir dan dibesarkan di New Orleans, Jamal telah satu minggu lamanya mengungsi dari kota yang terendam banjir. Dia dan keluarganya telah lama sekali menunggu kedatangan bis-bis evakuasi; ketika bis-bis itu tak kunjung tiba, mereka terpaksa berjalan di bawah terik matahari yang membakar. Akhirnya ia terdampar di sini, sebuah aula pertemuan yang sudah bobrok, dipenuhi oleh 2000 ranjang dan gerombolan pengungsi yang kelelahan dan marah, yang diawasi oleh para pasukan National Guards senewen yang baru saja kembali dari penugasannya di Irak.

Berita yang tersebar di penampungan hari itu adalah bahwa seorang anggota konggres Partai Republik, Richard Baker, baru saja mengeluarkan pernyataan pada sekelompok pelobi, “ Akhirnya kita berhasil membersihkan pemukiman umum di New Orleans. Selama ini kita tak mampu melakukannya, tapi kini Tuhan yang melakukan”. Joseph canizaro, salah satu pemilik perusahaan pengembang terbesar di New Orleans, juga mengungkapkan pandangan serupa:”Saya pikir kita akan memulai lembaran baru yang masih bersih. Dan dengan lembaran baru tersebut, kita akan memiliki berbagai kesempatan besar.” Sepanjang minggu itu, kota Baton Rouge dipenuhi oleh para kelompok pelobi korporat untuk memastikan terwujudnya kesempatan-kesempatan besar tersebut: pemotongan pajak, pemangkasan regulasi, buruh murah dan sebuah “kota yang lebih kecil dan lebih aman” – yang dalam prakteknya berarti rangkaian perencanaan untuk membumiratakan projek pemukiman umum. Mendengarkan perbincangan tentang “awal yang baru” dan “lembaran baru”, kita hampir saja terlupakan oleh puing-puing beracun, aliran limbah kimia, dan mayat-mayat yang hanya berjarak beberapa mil dari jalanbesar.

Di penampungan, Jamal sibuk memikirkan hal ini. “Saya tidak melihatnya sebagai pembersihan kota. Yang saya lihat adalah betapa banyaknya orang yang tewas. Mereka tidak seharusnye tewas.”

Dia berbicara dengan nada lirih, namun seorang pria lebih tua di depan kami mendengarnya dan menukas. ”Ada apa sih sama orang-orang di Baton Rouge? Ini sama sekali bukan sebuah kesempatan. Ini adalah tragedi yang sesungguhnya. Apa mereka buta semua?” Seorang ibu dengan dua anak menyambut. ”Tidak, mereka tidak buka, mereka jahat. Gak ada masalah dengan penglihatan mereka.”

Salah satu orang yang melihat adanya peluang dalam genangan banjir bandang di New Orleans adalah almarhum Milton Friedman, maha guru kapitalisme dan berjasa dalam menuliskan buku panduan untuk ekonomi global hyper-mobile kontemporer. Dalam usia sembilanpuluh tiga tahun dan dengan kesehatan yang terus menurun, “Uncle Miltie”, begitu ia biasa dipanggil oleh para pengikutnya, mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya untuk menulis sebuah opini di Wall Street Journal tiga bulan setelah bendungan-bendungan ambruk. “Banyak sekali sekolah-sekolah di New Orleans yang hancur,” ungkap Friedman, “demikian juga rumah-rumah para murid sekolah itu. Anak-anak itu kini terpencar ke seluruh negeri. Ini adalah tragedi. Sekaligus sebuah kesempatan.”

Gagasan radikal yang ditawarkan Friedman adalah daripada menghabiskan milyaran dollar untuk dana rekonstruksi demi membangun kembali dan meningkatkan system sekolah negeri di New Orleans, pemerintah sebaiknya memberikan kupon pendidikan saja pada para keluarga tersebut, yang bisa digunakan untuk membiayai pendidikan di sekolah-sekolah swasta.

Berkebalikan dengan lambatnya proses perbaikan bendungan dan instalasi listrik, pelelangan sekolah negeri New Orleans terjadi dengan kecepatan dan ketepatan seorang prajurit militer. Dalam waktu 19 bulan, dengan sebagian besar warga kota yang miskin masih berada di pengungsian, system sekolah negeri telah sepenuhnya tergantikan oleh sekolah-sekolah yang dikelola oleh swasta.

The Friedmanite American Enterprise Institute dengan bersemangat menyatakan “ Badai Katrina menuntaskan dalam satu hari saja….. apa yang tidak mampu dilakukan bertahun-tahun oleh para pendukung reformasi sekolah Louisiana”. Sementara itu, para guru sekolah umum, menyebut rancangan Friedman ini sebagai “penyerobotan lahan pendidikan”. Saya menyebutnya sebagai orkestra perampasan wilayah publik paska kejadian katastropik digabung dengan perlakuan bencana sebagai kesempatan pasar yang menggiurkan, “Kapitalisme Bencana”.

Melakukan privatisasi system sekolah negeri di sebuah kota yang tidak terlalu besar di Amerika mungkin terlihat seperti kurang kerjaan bagi seseorang yang dipandang sebagai ahli ekonomi paling berpengaruh sepanjang paruh abad ini. Namun, tekadnya untuk mengeksploitas krisis di New Orleans demi memutakhirkan versi kapitalisme fundamentalis adalah juga sebuah ucapan perpisahan yang terasa pas. Selama lebih dari tigapuluh tahun, Friedman dan para pengikutnya yang berkuasa telah terus-menerus menyempurnakan strategi ini: menunggu datangnya krisis besar, kemudian menjual negara sedikit demi sedikit kepada pihak-pihak swasta sementara warga negara masih bergumul dengan shock dan trauma.

Dalam salah satu essaynya yang paling berpengaruh, Friedman mengartikulasikan inti dari resep taktis kapitalisme kontemporer, yang saya pahami sebagai “Doktrin Shock Therapy”. Beliau mengamati bahwa “hanya krisis -aktual ataupun bayangan- yang mampu menghasilkan perubahan nyata”. Ketika krisis terjadi, langkah-langkah yang diambil bergantung pada gagasan-gagasan yang terlihat di sekitar. Sebagian orang akan menyimpan bahan makanan kaleng dan air minum sebagai persediaan jika terjadi bencana; Friedmanites menyimpan persediaan gagasan-gagasan pasar bebas. Dan begitu krisis menghantam, professor Universitas Chicago ini yakin bahwa inilah titik krusial untuk bertindak cepat, untuk memaksakan perubahan-perubahan segera sebelum masyarakat yang sedang diguncang-krisis ini bangkit dan kembali masuk ke system “tirani status quo”. Sebuah variasi dari pendapat Machiavelli bahwa “Luka atau cedera” haruslah “dilakukan sekaligus”, ini menjadi salah satu warisan Friedman yang paling bertahan.

Friedman pertama kali belajar tentang bagaimana mengeksploitasi situasi krisis dan shock pada pertengahan tahun 70an, ketika dia menjadi penasihat untuk penguasa diktator Jendral Augusto Pinochet. Saat itu, tidak hanya warga Chile masih berada dalam kondisi shock setelah kudeta berdarah yang dilakukan Pinochet, Negara itu juga masih belum lepas dari trauma hiper-inflasi. Friedman menyarankan pada Pinochet untuk melakukan transformasi ekonomi dengan sesegera mungkin – pemotongan pajak, pasar bebas, privatisasi, pemotongan biaya public dan deregulasi.

Pengalaman ini menjadi percobaan kapitalis paling ekstrim yang pernah terjadi di muka bumi, dan sejak itu dikenal dengan istilah revolusi “Sekolah Chicago”, karena begitu banyak ahli ekonomi Pinochet yang merupakan anak murid Friedman di Univ. Chicago. Bahkan berpuluh-puluh tahun setelah itu, kapanpun pemerintah memaksakan kebijakan program pasar bebas, the all-at-once shock treatment, atau “Shock therapy”, menjadi metode pilihan untuk melakukannya.

Sekitar 4 tahun lalu, saya mulai melakukan riset mengenai ketergantungan pasar bebas akan kekuatan shock, pada periode awal okupasi Amerika di Irak. Saya melaporkan dari Baghdad mengenai kegagalan Washington untuk menindaklanjuti situasi penduduk yang sedang diliputi “shock dan kengerian” dengan metodeshock terapi – privatisasi massal, pasar bebas sepenuhnya, 15% pajak, dan perampingan struktur pemerintah secara dramatis. Setelah penugasan itu, saya melanjutkan perjalanan ke Sri Lanka, beberapa bulan setelah tragedi Tsunami 2004, dan menyaksikan versi berbeda dengan maneuver serupa: para investor asing dan pemberi hutang internasional telah berkomplot untuk memanfaatkan kepanikan masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai untuk menyerahkan tanah-tanah mereka pada swasta, yang dengan sekejap membangun resort-resort mewah, menghambat ribuan nelayan untuk kembali dan membangun desa mereka. Ketika Badai Katrina menghantam New Orleans, jelaslah sudah bahwa metode ini memang menjadi pilihan untuk mewujudkan tujuan-tujuan korporat: menggunakan momen trauma kolektif untuk melakukan rekayasa sosial dan ekonomi secara radikal.

Kebanyakan orang yang selamat dari bencana tidak menginginkan pembersihan negeri: mereka ingin menyelamatkan apapun yang tersisa dan mulai memperbaiki apa yang belum sepenuhnya hancur.”ketika saya membangun kembali kota saya, saya merasa saya sedang membangun kembali diri saya”, kata Cassandra Andrews, seorang warga Lower Ninth Ward, salah satu area yang terkena dampak badai terparah di New Orleans. Namun para kapitalis bencana tidak berminat untuk memperbaiki segala hal seperti semula. Di Iraq, Sri Lanka dan New Orleans, proses yang secara menipu disebut “rekontruksi” sebenarnya adalah kerja-kerja yang dimulai dengan melanjutkanapa yang belum terselesaikan oleh bencana alam, yaitu menuntaskan dan menghapuskan segala milik public yang masih tertinggal.

Ketika saya memulai riset ini pada persimpangan antara mega-bencana dan super-profit, saya merasa saya sedang menyaksikan perubahan fundamental dalam cara pasar “bebas” merajalela di seluruh dunia. Sebagai bagian dari gerakan yang menentang kekuasaan korporasi di Seattle 1999, saya sudah terbiasa melihat kebijakan-kebijakan ramah-bisnis yang dipaksakan melalui pertemuan-pertemuan WTO, atau sebagai syarat peminjaman hutang dari IMF.

Semakin dalam saya menggali sejarah mengenai model pasar yang telah menyapu dunia, saya menemukan bahwa gagasan untuk menggunakan situasi krisis dan bencana telah sejak awal menjadi modus operandi gerakan Friedman – bentuk kapitalisme fundamentalis ini selalu membutuhkan terjadinya bencana untuk bisa maju. Apa yang terjadi di Iraq dan New Orleans, bukanlah penemuan baru paska peristiwa 11 September. Eksperimen-eksperimen penuh kenekatan dalam mengeksploitasi situasi krisis ini merupakan puncak kulminasi dari 3 dekade ketaatan ketat terhadp doktrin shock.

Betapa sangat berbeda melihat sejarah 35 tahun kebelakang melalui kacamata doktrin ini. Berbagai pelanggaran HAM berat di era itu, yang awalnya diduga sebagai tindakan sadistik yang dilakukan oleh rejim anti-demokratik, ternyata dilakukan dengan maksud meneror public atau dimanfaatkan secara aktif untuk mempersiapkan fondasi menuju “reformasi” pasar bebas radikal. Di China pada tahun 1989, shock yang ditimbulkan akibat pembantaian Lapangan Tiananmen dan penahanan puluhan ribu aktivis, merupakan titik tolak kejadian yang membuka keleluasaan bagi Partai Komunis untuk mengubah negerinya menjadi zona ekspor, dengan limpahan persediaan buruh murah yang terlalu takut untuk menuntut hak-haknya. Perang Falkland pada tahun 1982, dilakukan Margaret Tatcher demi mencapai tujuan serupa: kekacauan yang ditimbulkan akibat perang memudahkannya untuk menghancurkan para buruh tambang yang melakukan aksi pemogokan dan untuk meluncurkan program privatisasi pertama yang menghebohkan dalam demokrasi barat.

Intinya adalah, selalu dibutuhkan situasi trauma kolektif agar ekonomi shock terapi ini bisa diaplikasikan tanpa hambatan. Model ekonomi Friedman dapat diaplikasikan dalam sebuah system demokratik – Misalnya Amerika di bawah pemerintahan Reagan- namun untuk mengaplikasikan model ini seutuhnya, dibutuhkan kekuasaan otoritarian atau quasi-otoritarian sebagai prasyarat.

Hingga baru-baru ini, kondisi-kondisi di atas tidak dikenal di AS. Yang terjadi pada peristiwa 11 September 2001 adalah sebuah ideology yang dimulai di universitas-universitas Amerika dan disempurnakan oleh institusi-insitusi di Washington yang akhirnya memiliki kesempatan untuk kembali ke kampung halamannya. Pemerintahan Bush, lengkap dengan para anak murid Friedman, termasuk sahabatnya, Donald Rumsfeld, langsung memanfaatkan situasi penuh ketakutan itu dengan meluncurkan “perang terhadap terror” dan memastikan program ini akan sepenuhnya menguntungkan, sebuah industri baru yang menjadi nafas bagi ekonomi AS yang hampir bangkrut. Lebih mudah dipahami sebagai sebuah “disaster capitalism complex/Kompleksitas kapitalisme bencana”, sebuah perang raya yang diperjuangkan di setiap level perusahaan swasta yang keterlibatannya dibayar dengan uang pajak public, dengan mandat yang tak pernah berujung untuk melindungi tanah Amerika dan menghancurkan segala “kejahatan” di luar sana.

Dalam beberapa tahun saja, kompleksitas ini telah mengembangkan jangkauan pasarnya mulai dari melawan terorisme hingga penjaga perdamaian internasional, penyusunan kebijakan daerah, tujuan berada di pusat kompleksitas ini adalah untuk merubah sebuah negara yang berfungsi normal –melalui perubahan yang terjadi sangat cepat dalam kondisi luar biasa- menjadi sebuah pemerintahan yang berorientasi profit (for-profit government) – artinya, melakukan privatisasi pemerintahan.

Dalam skala, kapitalisme bencana hampir satu tingkat dengan “pertumbuhan pasar’ dan trend IT pada era 90-an. Digabung dengan keuntungan melejit dari industri asuransi dan super profit dari industri minyak, ekonomi bencana mungkin saja telah menyelamatkan pasar dunia dari pukulan resesi yang dihadapinya menjelang peristiwa 11 September.

Dalam pidato pemakaman Milton Friedman, peran situasi krisis dan shock untuk memajukan cara pandang dunia dia, sama sekali tidak disebutkan. Yang terjadi malah, ketika sang pakar ekonomi ini meninggal dunia, pada bulan November 2006, justru menjadi kesempatan untuk menceritakan kembali kisah-kisah resmi tentang kapitalisme radikal rancangannya dianut oleh pemerintah di hampir seluruh penjuru dunia. Ini adalah sejarah negeri dongeng, berusaha menggosok bersih kekerasan yang membelit pertempuran ini.

Sudah saatnya ini berubah. Sejak keruntuhan Uni Soviet, dunia selalu diingatkan oleh kejahatan yang dilakukan atas nama komunisme. Tapi bagaimana dengan perang yang dilancarkan untuk meliberalisasikan pasar dunia?

Saya bukan mengatakan bahwa segala bentuk system pasar selalu dilekati dengan kekerasan skala besar. Kenyataannya adalah bahwa sangat sangat mungkin untuk memiliki sebuah ekonomi berbasis pasar tanpa dilekati oleh brutalitas atau kemurnian ideologis serupa itu. Sebuah pasar bebas untuk produk-produk konsumsi dapat hidup berdampingan dengan pelayanan kesehatan gratis untuk public, dengan sekolah-sekolah negeri, dengan segmen ekonomi luas – seperti perusahaan minyak nasional- yang dikelola oleh Negara. Sama mungkinnnya untuk menuntut korporasi-korporasi ini untuk membayarkan upah layak bagi buruh-buruhnya, untuk menghormati hak berserikat bagi buruh, dan bagi pemerintah untuk menarik pajak dan meredistribusi kesejahteraan secara adil untuk mempersempit kesenjangan yang menandai negara-negara korporatis. Pasar tidak harus menjadi fundamentalis.

John Maynard Keynes menawarkan usualn serupa yaitu regulasi ekonomi campuran setelah Era Depresi Dunia. Justru system inilah --yang ditopang oleh kompromi-kompromi, check and balances--- yang ingin dilucuti oleh gerakan kontra-revolusioner Friedman di setiap Negara. Dilihat dari sudut pandang itu. Kapitalisme Chicago School memiliki kesamaan dengan para penganut ideology fundamentalis lainnya: hasrat yang kuat untuk kemurnian yang tak tergapai.

Hasrat akan kekuasaan serupa-tuhan ini adalah alasan yang menyebakan mengapa para ideolog pasar bebas begitu tertarik akan krisis dan bencana. Realitas yang non-apocalyptic semata bukanlah lingkungan yang ramah bagi ambisi mereka. Selama 35 tahun, yang telah menghidupkan kontra –revolusi Friedman adalah ketertarikan akan sejenis kebebasan yang hanya muncul di saat-saat perubahan yang luar biasa – ketika orang-orang, dengan kebiasaan lama mereka yang menjengkelkan dan tuntutan mereka yang terus-menerus, disingkirkan dari arena – momen ketika demokrasi dilumpuhkan secara praktis. Para penganut doktrin shock therapy ini meyakini bahwa hanya dengan guncangan hebatlah – banjir bandang, perang, serangan teroris- yang mampu memunculkan canvas putih luas yang akan mereka lukis. Hanya pada momen ketidakberdayaan seperti inilah, ketika kita secara psikologis merasa kehilangan pegangan dan secara fisik tercerabut dari akar kita, para seniman risiko yang sebenarnya ini akan datang berbondong-bondong dan memulai kerja mengubah dunia.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home