Shock Doctrine: An Excerpt from the Introduction
From book titled The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism
Shock Doctrine: An Excerpt from the Introduction
Diterjemahkan bebas dari artikel oleh Oleh Shelly W.M (PO DM Hivos Aceh)
Saya bertemu Jamal Perry pertama kalinya pada bulan September 2005, di sebuah penampungan besar milik Red Cross di
Lahir dan dibesarkan di New Orleans, Jamal telah satu minggu lamanya mengungsi dari kota yang terendam banjir. Dia dan keluarganya telah lama sekali menunggu kedatangan bis-bis evakuasi; ketika bis-bis itu tak kunjung tiba, mereka terpaksa berjalan di bawah terik matahari yang membakar. Akhirnya ia terdampar di sini, sebuah aula pertemuan yang sudah bobrok, dipenuhi oleh 2000 ranjang dan gerombolan pengungsi yang kelelahan dan marah, yang diawasi oleh para pasukan National Guards senewen yang baru saja kembali dari penugasannya di Irak.
Berita yang tersebar di penampungan hari itu adalah bahwa seorang anggota konggres Partai Republik, Richard Baker, baru saja mengeluarkan pernyataan pada sekelompok pelobi, “ Akhirnya kita berhasil membersihkan pemukiman umum di
Di penampungan, Jamal sibuk memikirkan hal ini. “Saya tidak melihatnya sebagai pembersihan
Dia berbicara dengan nada lirih, namun seorang pria lebih tua di depan kami mendengarnya dan menukas. ”
Salah satu orang yang melihat adanya peluang dalam genangan banjir bandang di
Gagasan radikal yang ditawarkan Friedman adalah daripada menghabiskan milyaran dollar untuk dana rekonstruksi demi membangun kembali dan meningkatkan system sekolah negeri di
Berkebalikan dengan lambatnya proses perbaikan bendungan dan instalasi listrik, pelelangan sekolah negeri
The Friedmanite American Enterprise Institute dengan bersemangat menyatakan “ Badai Katrina menuntaskan dalam satu hari saja….. apa yang tidak mampu dilakukan bertahun-tahun oleh para pendukung reformasi sekolah
Melakukan privatisasi system sekolah negeri di sebuah
Dalam salah satu essaynya yang paling berpengaruh, Friedman mengartikulasikan inti dari resep taktis kapitalisme kontemporer, yang saya pahami sebagai “Doktrin Shock Therapy”. Beliau mengamati bahwa “hanya krisis -aktual ataupun bayangan- yang mampu menghasilkan perubahan nyata”. Ketika krisis terjadi, langkah-langkah yang diambil bergantung pada gagasan-gagasan yang terlihat di sekitar. Sebagian orang akan menyimpan bahan makanan kaleng dan air minum sebagai persediaan jika terjadi bencana; Friedmanites menyimpan persediaan gagasan-gagasan pasar bebas. Dan begitu krisis menghantam, professor Universitas Chicago ini yakin bahwa inilah titik krusial untuk bertindak cepat, untuk memaksakan perubahan-perubahan segera sebelum masyarakat yang sedang diguncang-krisis ini bangkit dan kembali masuk ke system “tirani status quo”. Sebuah variasi dari pendapat Machiavelli bahwa “Luka atau cedera” haruslah “dilakukan sekaligus”, ini menjadi salah satu warisan Friedman yang paling bertahan.
Friedman pertama kali belajar tentang bagaimana mengeksploitasi situasi krisis dan shock pada pertengahan tahun 70an, ketika dia menjadi penasihat untuk penguasa diktator Jendral Augusto Pinochet. Saat itu, tidak hanya warga
Pengalaman ini menjadi percobaan kapitalis paling ekstrim yang pernah terjadi di muka bumi, dan sejak itu dikenal dengan istilah revolusi “Sekolah Chicago”, karena begitu banyak ahli ekonomi Pinochet yang merupakan anak murid Friedman di Univ. Chicago. Bahkan berpuluh-puluh tahun setelah itu, kapanpun pemerintah memaksakan kebijakan program pasar bebas, the all-at-once shock treatment, atau “Shock therapy”, menjadi metode pilihan untuk melakukannya.
Sekitar 4 tahun lalu, saya mulai melakukan riset mengenai ketergantungan pasar bebas akan kekuatan shock, pada periode awal okupasi Amerika di Irak. Saya melaporkan dari Baghdad mengenai kegagalan Washington untuk menindaklanjuti situasi penduduk yang sedang diliputi “shock dan kengerian” dengan metodeshock terapi – privatisasi massal, pasar bebas sepenuhnya, 15% pajak, dan perampingan struktur pemerintah secara dramatis. Setelah penugasan itu, saya melanjutkan perjalanan ke Sri Lanka, beberapa bulan setelah tragedi Tsunami 2004, dan menyaksikan versi berbeda dengan maneuver serupa: para investor asing dan pemberi hutang internasional telah berkomplot untuk memanfaatkan kepanikan masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai untuk menyerahkan tanah-tanah mereka pada swasta, yang dengan sekejap membangun resort-resort mewah, menghambat ribuan nelayan untuk kembali dan membangun desa mereka. Ketika Badai Katrina menghantam
Kebanyakan orang yang selamat dari bencana tidak menginginkan pembersihan negeri: mereka ingin menyelamatkan apapun yang tersisa dan mulai memperbaiki apa yang belum sepenuhnya hancur.”ketika saya membangun kembali
Ketika saya memulai riset ini pada persimpangan antara mega-bencana dan super-profit, saya merasa saya sedang menyaksikan perubahan fundamental dalam cara pasar “bebas” merajalela di seluruh dunia. Sebagai bagian dari gerakan yang menentang kekuasaan korporasi di Seattle 1999, saya sudah terbiasa melihat kebijakan-kebijakan ramah-bisnis yang dipaksakan melalui pertemuan-pertemuan WTO, atau sebagai syarat peminjaman hutang dari IMF.
Semakin dalam saya menggali sejarah mengenai model pasar yang telah menyapu dunia, saya menemukan bahwa gagasan untuk menggunakan situasi krisis dan bencana telah sejak awal menjadi modus operandi gerakan Friedman – bentuk kapitalisme fundamentalis ini selalu membutuhkan terjadinya bencana untuk bisa maju. Apa yang terjadi di
Betapa sangat berbeda melihat sejarah 35 tahun kebelakang melalui kacamata doktrin ini. Berbagai pelanggaran HAM berat di era itu, yang awalnya diduga sebagai tindakan sadistik yang dilakukan oleh rejim anti-demokratik, ternyata dilakukan dengan maksud meneror public atau dimanfaatkan secara aktif untuk mempersiapkan fondasi menuju “reformasi” pasar bebas radikal. Di China pada tahun 1989, shock yang ditimbulkan akibat pembantaian Lapangan Tiananmen dan penahanan puluhan ribu aktivis, merupakan titik tolak kejadian yang membuka keleluasaan bagi Partai Komunis untuk mengubah negerinya menjadi zona ekspor, dengan limpahan persediaan buruh murah yang terlalu takut untuk menuntut hak-haknya. Perang Falkland pada tahun 1982, dilakukan Margaret Tatcher demi mencapai tujuan serupa: kekacauan yang ditimbulkan akibat perang memudahkannya untuk menghancurkan para buruh tambang yang melakukan aksi pemogokan dan untuk meluncurkan program privatisasi pertama yang menghebohkan dalam demokrasi barat.
Intinya adalah, selalu dibutuhkan situasi trauma kolektif agar ekonomi shock terapi ini bisa diaplikasikan tanpa hambatan. Model ekonomi Friedman dapat diaplikasikan dalam sebuah system demokratik – Misalnya Amerika di bawah pemerintahan Reagan- namun untuk mengaplikasikan model ini seutuhnya, dibutuhkan kekuasaan otoritarian atau quasi-otoritarian sebagai prasyarat.
Hingga baru-baru ini, kondisi-kondisi di atas tidak dikenal di AS. Yang terjadi pada peristiwa 11 September 2001 adalah sebuah ideology yang dimulai di universitas-universitas Amerika dan disempurnakan oleh institusi-insitusi di Washington yang akhirnya memiliki kesempatan untuk kembali ke kampung halamannya. Pemerintahan Bush, lengkap dengan para anak murid Friedman, termasuk sahabatnya, Donald Rumsfeld, langsung memanfaatkan situasi penuh ketakutan itu dengan meluncurkan “perang terhadap terror” dan memastikan program ini akan sepenuhnya menguntungkan, sebuah industri baru yang menjadi nafas bagi ekonomi AS yang hampir bangkrut. Lebih mudah dipahami sebagai sebuah “disaster capitalism complex/Kompleksitas kapitalisme bencana”, sebuah perang raya yang diperjuangkan di setiap level perusahaan swasta yang keterlibatannya dibayar dengan uang pajak public, dengan mandat yang tak pernah berujung untuk melindungi tanah Amerika dan menghancurkan segala “kejahatan” di luar sana.
Dalam beberapa tahun saja, kompleksitas ini telah mengembangkan jangkauan pasarnya mulai dari melawan terorisme hingga penjaga perdamaian internasional, penyusunan kebijakan daerah, tujuan berada di pusat kompleksitas ini adalah untuk merubah sebuah negara yang berfungsi normal –melalui perubahan yang terjadi sangat cepat dalam kondisi luar biasa- menjadi sebuah pemerintahan yang berorientasi profit (for-profit government) – artinya, melakukan privatisasi pemerintahan.
Dalam skala, kapitalisme bencana hampir satu tingkat dengan “pertumbuhan pasar’ dan trend IT pada era 90-an. Digabung dengan keuntungan melejit dari industri asuransi dan super profit dari industri minyak, ekonomi bencana mungkin saja telah menyelamatkan pasar dunia dari pukulan resesi yang dihadapinya menjelang peristiwa 11 September.
Dalam pidato pemakaman Milton Friedman, peran situasi krisis dan shock untuk memajukan cara pandang dunia dia, sama sekali tidak disebutkan. Yang terjadi malah, ketika sang pakar ekonomi ini meninggal dunia, pada bulan November 2006, justru menjadi kesempatan untuk menceritakan kembali kisah-kisah resmi tentang kapitalisme radikal rancangannya dianut oleh pemerintah di hampir seluruh penjuru dunia. Ini adalah sejarah negeri dongeng, berusaha menggosok bersih kekerasan yang membelit pertempuran ini.
Sudah saatnya ini berubah. Sejak keruntuhan Uni Soviet, dunia selalu diingatkan oleh kejahatan yang dilakukan atas nama komunisme. Tapi bagaimana dengan perang yang dilancarkan untuk meliberalisasikan pasar dunia?
Saya bukan mengatakan bahwa segala bentuk system pasar selalu dilekati dengan kekerasan skala besar. Kenyataannya adalah bahwa sangat sangat mungkin untuk memiliki sebuah ekonomi berbasis pasar tanpa dilekati oleh brutalitas atau kemurnian ideologis serupa itu. Sebuah pasar bebas untuk produk-produk konsumsi dapat hidup berdampingan dengan pelayanan kesehatan gratis untuk public, dengan sekolah-sekolah negeri, dengan segmen ekonomi luas – seperti perusahaan minyak nasional- yang dikelola oleh Negara. Sama mungkinnnya untuk menuntut korporasi-korporasi ini untuk membayarkan upah layak bagi buruh-buruhnya, untuk menghormati hak berserikat bagi buruh, dan bagi pemerintah untuk menarik pajak dan meredistribusi kesejahteraan secara adil untuk mempersempit kesenjangan yang menandai negara-negara korporatis. Pasar tidak harus menjadi fundamentalis.
John Maynard Keynes menawarkan usualn serupa yaitu regulasi ekonomi campuran setelah Era Depresi Dunia. Justru system inilah --yang ditopang oleh kompromi-kompromi, check and balances--- yang ingin dilucuti oleh gerakan kontra-revolusioner Friedman di setiap Negara. Dilihat dari sudut pandang itu.
Hasrat akan kekuasaan serupa-tuhan ini adalah alasan yang menyebakan mengapa para ideolog pasar bebas begitu tertarik akan krisis dan bencana. Realitas yang non-apocalyptic semata bukanlah lingkungan yang ramah bagi ambisi mereka. Selama 35 tahun, yang telah menghidupkan kontra –revolusi Friedman adalah ketertarikan akan sejenis kebebasan yang hanya muncul di saat-saat perubahan yang luar biasa – ketika orang-orang, dengan kebiasaan lama mereka yang menjengkelkan dan tuntutan mereka yang terus-menerus, disingkirkan dari arena – momen ketika demokrasi dilumpuhkan secara praktis.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home