Thursday, February 14, 2008

EPISTIMOLOGI JARINGAN CSOs INDONESIA (Kasus Aceh)

[Konteks CSOs di Aceh, Indonesia] [1]

oleh Jonatan Lassa[2]

“Adalah krusial bagi organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk mampu melepaskan diri dari kartel-kartel[3] maupun jejaring sosial pro-status quo…………….. Kemampuan tersebut salah satunya harus bertumpu pada adanya visi yang transendental, melintasi kepentingan-kepentingan sempit kelompok, demi sebuah masyarakat yang lebih adil.

Visi tersebut harus mampu diterjemahkan dalam program-program kongkrit yang mampu mengorganisir lintas kelompok sosial, serta juga mampu membangun tahapan-tahapan target yang realistis agar terdapat kesinambungan gerakan.” Simanjuntak (2005)

PENDAHULUAN

Mencari ’best practices’ dalam sinergitas dan keterjalinan (networking) CSOs bukanlah pekerjaan mudah mengingat sedikitnya ’pemodelan’ keterjalinan CSOs yang didokumentasikan dalam kasus Indonesia maupun Aceh, disamping faktor-faktor lain seputar heterogenitas nilai, isu, visi, masalah dan konteks dan sejarah yang ada.

Terjemahan NGOs ke dalam Bahasa Indonesia sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mungkin saja problematik karena kebanyakan justru tingkat ke-swadaya-annya berada di titik nol. Ornop pun terjemahan apolitis yang ’politis’. Menariknya, bila NGOs/LSMs/ Ornop/CBOs melakukan koalisi yang berfokus pada satu isu, dalam konteks waktu dan tempat tertentu, maka sinergitas menjadi sangat prakmatis dan multi tafsir.

Dalam banyak koalisi atau jaringan NGOs/CBOs, secara pragmatis, sinergitas dipahami dalam spirit ”bersatu kita teguh, bercerai-berai kita runtuh”. Hal ini bisa dilihat dari aspek kesejarahan jaringan NGOs HAM di Aceh sangat unik tapi tidak ekslusif Aceh semata, lahir dari kondisi konflik di bawah tekanan rejim yang represif. Sangat jelas karena “Civil society organisations have to position themselves in relation to government policies, structures and actions” (Hivos 2006: 6)

Untuk melihat content dari kerja-kerja berjaringan adalah bagaimana memodelkan Kontinuitas ‘kemarahan-kemarahan atas ketidakadilan social’ yang diinstitusionalkan, pengkayaan kemarahan atas status quo. Kutipan pada bagian awal paper ini dari Simanjuntak (2005) merupakan jawaban ditawarkan.

Alasan CSOs dalam berjaringan memberikan checklist alasan CSOs berjaringan yakni sebagaimana diutarakan oleh Dalzell 2002:11 dan Castells 2000.

  • keperluan atas informasi
  • meningkatnya pemahaman tentang pentingnya konsultasi bersama
  • derajat keahlian yang meningkat dan pemahaman tentang diinsentif dari keterisolasian
  • kurangnya koordinasi dalam implementasi
  • harapan membangun aksi strategi yang bersifat kolektif menuju perubahan structural yang berkelanjutan
  • kesadaran tentang tidak effisiennya kerja-kerja masa lalu yang saling mengisolasi dan sikap tertutup organisasi CSOs.
  • Public relations: keperluan membangun image dari organisasi dimaksud
  • Efektivitas dalam mempengaruhi for effective influencing of policy (lobby) within governments or international institutions.
  • meningkatnya masyarakat jaringan (Castells 2000) yang mengubah pola belajar lama (baca: new modes of learning regime).
  • kesempatan memaksimalkan kepentingan untuk jaringan pengetahuan, pendanaan dan sebagainya.

EPISTIMOLOGI JARINGAN CSOs.

Oleh Dalzell (2002) CSOs networking dibagi dalam empat tipikal struktur yakni model jala ikan (fishing net), jaringan laba-laba (the spider’s web), model jaringan berbentuk piramida dan jaringan berbentuk cluster (Dalzell 2002: Hal 5-10). Meta jaringan CSOs bisa merupakan kombinasi dari ke empat hal di atas.

Dalam realitas, keterjalinan (networking) atas nama CSOs, koalisi CBOs ataupun NGOs bisa direduksikan sebagai wadah kumpul-kumpulnya elite NGOs/CBOs yang saling sinergitas dalam keterjalinan saling ketergantungan, tetapi tidak serta merta pro perubahan sosial dan anti status quo.

Sedangkan distribusi ’sense of belonging’ dari kerja berjaringan ini tidak tersebar merata tergantung posisi, kedudukan dan kekuasaan masing-masing individu. Ini salah satu alasan mengapa banyak sekali kerja-kerja berjaringan adalah nama lain dari hobi para elit NGOs/CBOs ‘bercuap-cuap’ soal problematika social.

Oxford Advanced Learners (2005) memberikan definisi jejaring (network): ‘a closely connected groups of people, companies etc. that exchange information’. Sedangkan Networking: a system of trying to meet and talk to other people who maybe useful to you in your work’. Berdasarkan pemaknaan di atas, jaringan praktis dilandasi kalkulasi kepentingan dan bukan dalam spirit sinergitas.

Networking pada dirinya sendiri tidak otomatis melekat sinergitas. Terjadinya sinergitas memerlukan input energi tambahan. Dari pengkayaan agenda belajar dan kerja bersama, advokasi bersama.

Organisasi masyarakat sipil (CSOs) bukanlah sebuah konsep tunggal. Masyarakat sipil lebih dari sekedar bentukan kelompok LSM-LSM. Melainkan merupakan domain di mana gerakan social dan berbagai jenis organisasi-organisasi sipil terorganisir secara formal maupun informal, yang merepresentasikan keragaman dan kerap kontradiksi dengan kepentingan social dan politik.[4]

Bagaimana CSOs menilai dirinya sendiri merupakan pengalaman menarik, karena eksistensinya berbeda-beda tidak hanya di dalam bentuk dan ukuran, tetapi juga tujuan, metode, basis dukungan. CSOs pada dirinya sendiri tidak identik dengan ‘baik’ seperti kelompok-kelompok fundamentalist merupakan bagian dari masyarakat sipil sama seperti organisasi HAM.

Beberapa hambatan/tantangan/pergumulan existensial CSOs pada negara-negara dunia ketiga adalah bahwa dengan mudahnya terjebak pada hal-hal sebagai berikut:

  • Jaringan NGOs/CSOs bukan saja bisa menjadi money laundry tapi juga image laundry dari negara-negara utara.
  • Hambatan-hambatan pada konstuksi sosial yang merupakan penghambat gerakan dan pro status quo seperti ’feodalisme built in’ – contoh di Aceh adalah pelanggengan dominasi pro-status dari aktifis-aktifis yang secara lip-service ataupun permukaan adalah anti status quo? Simanjuntak (2005: 8) “kalangan masyarakat sipil pun umumnya tidak pernah steril dari kepentingan-kepentingan politik kelompok sosialnya serta juga dipengaruhi oleh struktur-struktur patrimonial yang melekat pada kehidupan mereka. Bahkan seringkali pula pemimpin-pemimpin kunci dari elemen-elemen masyarakat sipil adalah bagian dari elite lokal, bagian dari struktur feodal yang tetap berlaku, dan telah berinteraksi dengan jejaring rente selama sebagian besar masa hidupnya.”
  • Hal ini menyebabkan CSOs bisa menjadi melemah karena tidak adanya counter “corruption fight back” yang memadai (lihat Simanjuntak 2005).
  • Agen dan promoter men fight back effect? Pelanggengan kesenjangan social dan ketimpangan gender karena dominasi laki-laki di dalam kerja-kerja jaringan LSM. Sehingga agenda penguatan perempuan menjadi ‘berjalan ditempat’? Kesadaran semu ‘kesetaraan gender’ berada pada tingkat kepentingan akses dana bantuan ketimbang aktualisasi dari memfasilitasi ‘kemarahan-kemarahan’ social yang bersumber pada ketidak adilan gender.
  • Jaringan para “angkatan udara” – maksudnya adalah jaringan elite-elite NGOs yang jauh dari realitas dan basis kerja? Jaringan para elite yang merepresentasikan kepentingan asumsi ketimbang kepentingan hak-hak komunitas korban dan kaum marginal.
  • Kepentingan dana semata: yang ada dipusaran jaringanlah yang ’gemuk’, kaki jaringan yang jauh dapat remah-2 saja?
  • Dinamika jaringan, skenario regenerasi kepimimpinan internal NGO jaringan paska migrasi elite-elite ke INGOs, UN dan BRR?
  • Antisipasi ’brain drain’ VS ’brain gain’ di jaringan sebagai implikasi migrasi staf anggota jaringan ke INGOs, UN, BRR: trend jangka pendek atau jangka panjang?

PENUTUP

Paper ini tidak dimaksudkan untuk melakukan resolusi dan solusi atas hal-hal di atas, tetapi sengaja mengangkat hal-hal yang biasa yang jarang diangkat bahkan sering ditutupi demi pemolesan kulit luar jaringa-jaringan CSOs di Indonesia, termasuk di Aceh, kecuali (masih mungkin) di Republik BBM (Indosiar) dan Republik Mimpi (Metro TV).

Best Practices yang dipresentasikan di sini bukanlah suatu bentuk dan isi yang telah ada tetapi sesuatu bentuk dan isi sinergitas yang perlu terus menerus dicari dan direvisi dan dipertanyakan kembali, tetapi dalam visi yang trensenden tentang dunia yang lebih adil dan kemampuan aksi praktis di level intervensi program/proyek.

Daftar Bacaan:

Hivos (2002) Civil Voices on a Global Stage, CSB Policy paper

Manuel Castells (2000) The Contour of Network Society. The Journal of Futures Studies, Strategic Thinking & Policy, Vol.02, no.02.

Howard Dalzell (2002) Analysing European Networks: The Alliance2015 case. Alliance 2015 Working Paper on Networking Model for CSOs.

Simanjuntak, L. (2005) Melihat Ulang Korupsi di Daerah : Defisit Demokrasi dan Pertarungan Kepentingan. Jurnal Hukum JENTERA, PSHK, Edisi Juli.

Twigg, J. ed. (2005) Filling Gaps and Making Spaces: Strengthening Civil Society in Unstable Situations. The Baring Foundation, UK.

Wicaksono, A & Thomas, H (2005) Membaca Ulang Indonesia Timur. Paper Penelitian Dinamika CSOs di Indonesia Timur – PIKUL.



[1] Judul asli adalah ”Mencari Best Practices Jaringan CSOs di Indonesia.” Dikembangkan untuk dipresentasikan pada pertemuan Koalisi NGO HAM di Banda Aceh 2006. Konteks jaringan yang dipresentasikan di sini dibatasi pada dinamika hubungan NGO lokal/nasional dari perspektif pribadi. Direvisi secara cepat untuk di bagikan ke Forum Academia NTT.

[2] PhD Candidate Kajian Risiko Bencana , Uni-Bonn

[3] By definition yang sederhana, kartel adalah ”suatu gabungan perusahaan-perusahaan yang bertujuan monopoli teristimewa dalam mengatur harga-harga”. Dalam konteks CSOs, bisa jadi diartikan (secara provokatif) sebagai gabungan NGOs yang monopoli akses pada arus dana Utara (baca: funding-funding CSOs dari negara dunia pertama).

[4] HIVOS CSB POLICY PAPER 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home