Sunday, March 02, 2008

Politik Lumpur Sidoarjo, Ilmiah Saja Tidak Cukup [teropong kompas]

Sabtu, 1 Maret 2008 | 02:49 WIB

Yuti Ariani

“Itu perlu suatu penelitian yang mendalam. Saya kira tidak bisa dinyatakan secara politik (oleh DPR). Bencana alam atau bukan, itu bukan masalah politis.” Wapres Muhammad Jusuf Kalla (Kompas, 19/2)

Penelitian penyebab semburan lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo membagi ilmuwan menjadi dua kubu, yakni yang berpendapat akibat bencana alam dan kesalahan Lapindo. Para ilmuwan dari masing-masing kubu memiliki argumentasi ilmiah akan penyebab semburan tersebut. Prof Dr Sukendar Asikin, Dr Doddy Nawangsidi dari Institut Teknologi Bandung, dan Dr Ir Agus Guntoro dari Universitas Trisakti yang dipanggil oleh Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menganggap semburan lumpur akibat bencana alam. Lain halnya dengan Andang Bachtiar, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Ia memandang semburan tersebut disebabkan oleh terlalu kentalnya lumpur yang digunakan untuk meredam kick hingga tekanannya mengakibatkan dinding sumur pecah. Pendapat semburan lumpur adalah akibat kesalahan Lapindo juga dikemukakan oleh Dr Rudi Rubiandini, mantan Ketua Tim Investigasi Independen Lumpur Lapindo. (Tempo, 25/2)

Dalam dunia akademik, perbedaan pendapat merupakan hal lumrah. Namun, ketika pendapat tersebut berimplikasi pada pihak yang menjadi penanggung jawab dalam penanggulangan bencana, termasuk soal biaya, benarkah ilmiah saja cukup? Lebih jauh, bagaimana landasan ilmiah tersebut dibangun?

Andang Bachtiar dan Ali Azhar Akbar menyoroti cara Lapindo menyajikan hasil analisa dalam forum-forum diskusi tanpa pernah membuka data. Padahal, menurut Rudi Rubiandini, data tekanan selama pengeboran yang dimiliki oleh kepolisian sudah bisa dijadikan bahan bukti bahwa semburan disebabkan aktivitas pengeboran LBI. Pengabaian proses juga dilakukan oleh Lapindo dengan menggelar lokakarya ”International Geological Workshop on Sidoarjo Mud Volcano” di Jakarta, Februari 2007, yang memberi kesimpulan bahwa semburan lumpur itu terjadi karena fenomena geologi yang disebut erupsi mud volcano. Lokakarya tersebut tidak mengundang ilmuwan-ilmuwan dari kubu kontrabencana alam.

Politisasi alam

Adanya penekanan pada kelompok ilmuwan tertentu dan pengabaian terhadap ilmuwan lainnya mengindikasikan ketidaksetaraan. Kondisi ini dipicu kepentingan pihak-pihak tertentu untuk memperoleh legitimasi ilmiah atas penyebab lumpur Sidoarjo dengan mempromosikan ilmuwan-ilmuwan yang mendukung kepentingan mereka dan menafikan kelompok lainnya. Iklan di media massa yang mengutip analisa sejumlah geolog ternama, serta seminar yang menghadirkan ilmuwan-ilmuwan prolumpur sebagai bencana menempatkan pendapat ilmuwan di ranah politis. Pertarungannya tak lagi mengenai kebenaran ilmiah per se, melainkan bagaimana pengetahuan itu menjadi bagian dari narasi yang lebih besar untuk mendukung kepentingan tertentu.

Bruno Latour mengulas bagaimana realitas ilmiah dibangun atas sejumlah transformasi. Dari penelusuran yang dilakukan Latour di Salk Institute pada pertengahan 1970, muncul penafsiran-penafsiran atas realitas ilmiah. Latour mengamati pada saat seorang ilmuwan mengatakan ia melihat sebuah blip dalam kurva, realitas sosial menghilang bersama-sama dengan bagaimana kebenaran baru ini diproduksi. Kebenaran ini membangkitkan dua domain yang berbeda, yaitu realitas di satu sisi dan pengetahuan akan realitas di sisi lain (realitas ilmiah).

Relasi antara realitas dan pengetahuan akan realitas merupakan obyek yang acap dikritisi oleh para penentang obyektivisme sains. Hal ini diungkapkan oleh Max Weber, ”Kepercayaan pada nilai-nilai kebenaran ilmiah tidak dihela oleh alam, tapi merupakan produk dari budaya tertentu.” Lebih jauh, Robert K Merton berpendapat, ”Kepercayaan pada kebenaran ilmiah ditransmisikan antara keraguan dan ketidakpercayaan. Perkembangan persisten dari sains muncul di masyarakat dalam pola tertentu, subyek khas yang kompleks dari perkiraan tacit dan batasan institusi. Apa yang bagi kita merupakan sebuah fenomena tanpa membutuhkan penjelasan dan terjamin dalam swapembuktian nilai-nilai budaya, pada waktu lain dan tempat yang berbeda dipandang abnormal dan langka. Keberlanjutan sains mensyaratkan partisipasi aktif dari orang-orang yang tertarik dan memiliki kemampuan dalam pencarian ilmiah. Namun, dukungan terhadap sains ini hanya terjamin oleh (eksistensi) kondisi-kondisi sosiokultural tertentu.”

Membuka kotak hitam pengetahuan

Weber dan Merton menyoroti keterkaitan antara pengetahuan dan konteks sosiokultural di mana ia diproduksi. Para ilmuwan yang dipromosikan oleh kelompok Lapindo, misalnya, memberikan kesimpulan lumpur sebagai bencana. Hal ini menyebabkan wacana lumpur yang menyebar di masyarakat bukan lagi pertarungan antara kebenaran ilmiah, melainkan upaya untuk menarik simpati massa.

Menurut Pierre Bourdieu, label ilmuwan merupakan perwujudan modal simbolik. Kondisi ini berimplikasi pada pertarungan wacana kubu pro dan kontra dengan mengutip ilmuwan-ilmuwan yang dapat melegitimasi pendapat mereka. Dengan memandang ilmuwan sebagai modal simbolik, akumulasi modal yang dilakukan kubu pro maupun kontra sama-sama menempatkan ilmuwan sebagai bagian dari penguatan retorika. Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat seorang ilmuwan disebut ilmuwan?

Praksisnya, label ilmuwan yang disematkan kepada seseorang terkait dengan aktivitas di laboratorium, afiliasi di forum/asosiasi ilmiah, serta publikasi di jurnal. Keterkaitan dengan komunitas ilmiah yang telah ada sebelumnya menjadi legitimasi untuk menyatakan apakah seseorang dapat disebut sebagai ilmuwan atau tidak. Dalam penulisan jurnal, keterkaitan ini bisa terlihat dari referensi yang digunakan seorang ilmuwan untuk mendukung pendapat yang ia kemukakan. Kian klasik jurnal yang ia rujuk, kian besar modal simbolik yang ia peroleh.

Relasi linier ini menjadi bermasalah ketika referensi yang sama menghasilkan kesimpulan bertolak belakang sebagaimana terjadi pada kasus lumpur Sidoarjo. Meski sama-sama menghadapi realitas fisik lumpur, namun analisa para ilmuwan memberi hasil yang beragam. Berimbangnya kedua pendapat ini menyebabkan negosiasi penanganan lumpur Sidoarjo tidak bisa hanya dilandaskan penafsiran akan alam, tapi juga memperhitungkan kepentingan korban lumpur yang hingga kini masih terkatung-katung.

Yuti Ariani Alumnus Program Magister Studi Pembangunan ITB; Mengerjakan penelitian di ranah Science, Technology and Society

0 Comments:

Post a Comment

<< Home