Friday, February 29, 2008

Lumpur Lapindo, Lumpurnya Tuhan? - Opini Kompas

Lumpur Lapindo, Lumpurnya "Tuhan"?

Kamis, 28 Februari 2008 | 02:41 WIB

Picture: THOMDEAN /Kompas Images - Lumpur Lapind0


Oleh Jonatan Lassa

Without correct words, there will be no correct practice. (Dombrowsky)

Rabi Greenberg menuturkan kisah lucunya tahun 1950-an di New York City yang dilanda musim kering dan pemerintah membuat awan buatan sebagai awal teknologi hujan buatan.

Hal ini menyebabkan agamawan bertanya, apakah manusia mengambil alih peran Tuhan? ”Saya ingat sebuah kartun di the New Yorker yang melukiskan sekelompok pendeta yang kelihatan amat cemas sedang duduk mengelilingi meja dan melihat keluar melalui jendela, menyaksikan turunnya hujan. Seorang pendeta berkata, ’Ini hujan kita, atau hujan mereka?’” (John Naisbit, 2001:49)

Kita membayangkan suasana batin yang mungkin melingkupi Senayan dan Istana terkait peristiwa di Sidoarjo. Karikatur imajiner yang bisa menggambarkan batin penguasa dan rohaniwan Indonesia dengan pertanyaan, ”Ini lumpur Lapindo atau lumpurnya Tuhan?” Kini, dalam realitas, DPR dan pemerintah memerlukan jawaban ”bencana alam atau bencana teknologi”?

Dalam tradisi mendefinisikan/ pendefinisian atas sesuatu, sebuah definisi terdiri dua bagian, yakni kata yang didefinisikan (definiendum) dan kelompok kata atau konsep yang digunakan untuk mendefinisikan (definien). Sebuah definiendum harus bermakna sama dengan definien.

Neil Britton mengatakan, ”Sebagaimana seorang/pihak menafsirkan sesuatu bergantung pada apa yang disyaratkan untuk dilakukan terhadap sesuatu dimaksud.” Namun, Britton mengingatkan definisi bukan sekadar alat bantu berpikir, tetapi juga soal orientasi mental dan emosi, model pemaknaan dan cara pandang pemberi definisi.

Definisi

Salinan UU No 24/2007 mendefinisikan, ”bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.”

Karena itu, peristiwa Sidoarjo memenuhi kecirian definisi bencana UU No 24/2007. Jika ditanyakan kepada rakyat yang mengalami, jawabannya, ”rumah terkubur, pekerjaan hilang, aset penghidupan hancur, kerugian nasional mencapai paling sedikit Rp 7 triliun. Orang dari kaya menjadi miskin. Yang miskin makin melarat. Secara psikis tidak ada kata yang bisa menyamai pengalaman mengalami bencana itu.” Definisi ini dikenal dengan definisi situatif.

Pada titik ini, kata ’bencana’ tidak merepresentasikan diri sendiri. Bencana juga tidak sekadar merepresentasikan lingkungan yang rusak. Bencana dan lingkungan yang rusak merepresentasikan manusia dan kepentingan manusia di baliknya.

Istilah ”bencana alam” bermakna kausalitas. Salinan UU No 24/2007 mengatakan, ”Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam, antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.”

Kelemahan paling mendasar UU No 24/2007 adalah tidak memberi ruang atau definisi kausalitas bencana untuk interaksi atau keterkaitan antara yang alami dan buatan manusia. Secara empiris, ini bertentangan karena ada yang dikenal sebagai ”bencana antara”. Peristiwa yang satu men-triger yang lain. Bisa saja kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya yang tidak menjalankan prinsip kehati-hatian men-trigger kejadian alam yang ekstrem. Misal, eksploitasi hutan memicu mudahnya banjir. Sebaliknya, peristiwa alam seperti gempa bisa memicu kecelakaan kebakaran seperti gempa Kobe 1995 atau kecelakaan nuklir di Jepang setahun silam.

Wapres Jusuf Kalla mengatakan, ”Perlu penelitian mendalam. Saya kira tidak bisa dinyatakan secara politik (oleh DPR). Bencana alam atau bukan, itu bukan masalah politis.” (Kompas, 19/2/2008)

Perlu diketahui, sains tidak menawarkan kepastian 100 persen. Sains datang dengan skenario, probabilitas, kemungkinan, dan solusi trial and error. Ini yang terjadi dengan sains dalam konteks lumpur di Sidoarjo. Dalam tradisi epistemik di universitas-universitas dunia, sebuah hasil penelitian yang dipublikasikan akan mendapat banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Inilah alasannya mengapa seolah IAGI saling ”berseteru” tepatnya setahun silam dalam sebuah workshop internasional. (Tempo Interaktif, 6/3/2007)

Istilah bencana alam

Karena itu, istilah hitam-putih ”bencana alam” sebenarnya problematik dan masalah utama adalah pada paradigma dan kuasa tafsir atas bencana. Maka, tafsir bencana tidak bisa hanya diserahkan kepada ahli teknis geologis/geofisik saja. Dalam epistemologi bencana, alam adalah alam. Bencana adalah bencana. Bukan alam yang mengeksplorasi migas di Sidoarjo.

Tafsir bencana adalah sebuah konsensus yang seharusnya trans-disiplin (baca: antara pengambil kebijakan dan ahli lintas disiplin, termasuk ilmuwan sosial dan pihak yang dianggap korban/pelaku).

Rakyat yang dipersepsikan ”bodoh” tidak bisa menerima begitu saja bahwa ini adalah lumpurnya Tuhan. Ketiadaan konsensus atas bencana di Sidoarjo ternyata mengakibatkan biaya transaksi tinggi. Namun, keputusan tentang penanggung jawab bencana Sidoarjo adalah bukan semata-mata putusan hukum. Diperlukan keputusan politik karena lepas dari faktor kausalitas yang tidak pasti karena keterbatasan sains dan ketidakpastian pengetahuan, ada situasi obyektif menunjukkan, jumlah rakyat miskin di Sidoarjo yang terjadi dalam dua tahun terakhir membutuhkan keberpihakan politik dari penguasa di DPR maupun eksekutif.

Melemparkan tanggung jawab kepada sains yang tidak pasti adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanat yang diberikan rakyat. Dan sains hendaknya dimandatkan untuk tidak merampas mandat pengambilan keputusan yang bersifat politik. Kepastian keberpihakan dari negara diperlukan dalam menyelesaikan ketidakpastian hidup dan penghidupan rakyat di Sidoarjo yang semakin tak menentu.

Jonatan Lassa PhD Researcher Kajian Disaster Risk Governance-BIGS-DR-ZEF University of Bonn-Bonn; Co- editor Journal of NTT Studies; Anggota Forum Academia NTT

Thursday, February 14, 2008

EPISTIMOLOGI JARINGAN CSOs INDONESIA (Kasus Aceh)

[Konteks CSOs di Aceh, Indonesia] [1]

oleh Jonatan Lassa[2]

“Adalah krusial bagi organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk mampu melepaskan diri dari kartel-kartel[3] maupun jejaring sosial pro-status quo…………….. Kemampuan tersebut salah satunya harus bertumpu pada adanya visi yang transendental, melintasi kepentingan-kepentingan sempit kelompok, demi sebuah masyarakat yang lebih adil.

Visi tersebut harus mampu diterjemahkan dalam program-program kongkrit yang mampu mengorganisir lintas kelompok sosial, serta juga mampu membangun tahapan-tahapan target yang realistis agar terdapat kesinambungan gerakan.” Simanjuntak (2005)

PENDAHULUAN

Mencari ’best practices’ dalam sinergitas dan keterjalinan (networking) CSOs bukanlah pekerjaan mudah mengingat sedikitnya ’pemodelan’ keterjalinan CSOs yang didokumentasikan dalam kasus Indonesia maupun Aceh, disamping faktor-faktor lain seputar heterogenitas nilai, isu, visi, masalah dan konteks dan sejarah yang ada.

Terjemahan NGOs ke dalam Bahasa Indonesia sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mungkin saja problematik karena kebanyakan justru tingkat ke-swadaya-annya berada di titik nol. Ornop pun terjemahan apolitis yang ’politis’. Menariknya, bila NGOs/LSMs/ Ornop/CBOs melakukan koalisi yang berfokus pada satu isu, dalam konteks waktu dan tempat tertentu, maka sinergitas menjadi sangat prakmatis dan multi tafsir.

Dalam banyak koalisi atau jaringan NGOs/CBOs, secara pragmatis, sinergitas dipahami dalam spirit ”bersatu kita teguh, bercerai-berai kita runtuh”. Hal ini bisa dilihat dari aspek kesejarahan jaringan NGOs HAM di Aceh sangat unik tapi tidak ekslusif Aceh semata, lahir dari kondisi konflik di bawah tekanan rejim yang represif. Sangat jelas karena “Civil society organisations have to position themselves in relation to government policies, structures and actions” (Hivos 2006: 6)

Untuk melihat content dari kerja-kerja berjaringan adalah bagaimana memodelkan Kontinuitas ‘kemarahan-kemarahan atas ketidakadilan social’ yang diinstitusionalkan, pengkayaan kemarahan atas status quo. Kutipan pada bagian awal paper ini dari Simanjuntak (2005) merupakan jawaban ditawarkan.

Alasan CSOs dalam berjaringan memberikan checklist alasan CSOs berjaringan yakni sebagaimana diutarakan oleh Dalzell 2002:11 dan Castells 2000.

  • keperluan atas informasi
  • meningkatnya pemahaman tentang pentingnya konsultasi bersama
  • derajat keahlian yang meningkat dan pemahaman tentang diinsentif dari keterisolasian
  • kurangnya koordinasi dalam implementasi
  • harapan membangun aksi strategi yang bersifat kolektif menuju perubahan structural yang berkelanjutan
  • kesadaran tentang tidak effisiennya kerja-kerja masa lalu yang saling mengisolasi dan sikap tertutup organisasi CSOs.
  • Public relations: keperluan membangun image dari organisasi dimaksud
  • Efektivitas dalam mempengaruhi for effective influencing of policy (lobby) within governments or international institutions.
  • meningkatnya masyarakat jaringan (Castells 2000) yang mengubah pola belajar lama (baca: new modes of learning regime).
  • kesempatan memaksimalkan kepentingan untuk jaringan pengetahuan, pendanaan dan sebagainya.

EPISTIMOLOGI JARINGAN CSOs.

Oleh Dalzell (2002) CSOs networking dibagi dalam empat tipikal struktur yakni model jala ikan (fishing net), jaringan laba-laba (the spider’s web), model jaringan berbentuk piramida dan jaringan berbentuk cluster (Dalzell 2002: Hal 5-10). Meta jaringan CSOs bisa merupakan kombinasi dari ke empat hal di atas.

Dalam realitas, keterjalinan (networking) atas nama CSOs, koalisi CBOs ataupun NGOs bisa direduksikan sebagai wadah kumpul-kumpulnya elite NGOs/CBOs yang saling sinergitas dalam keterjalinan saling ketergantungan, tetapi tidak serta merta pro perubahan sosial dan anti status quo.

Sedangkan distribusi ’sense of belonging’ dari kerja berjaringan ini tidak tersebar merata tergantung posisi, kedudukan dan kekuasaan masing-masing individu. Ini salah satu alasan mengapa banyak sekali kerja-kerja berjaringan adalah nama lain dari hobi para elit NGOs/CBOs ‘bercuap-cuap’ soal problematika social.

Oxford Advanced Learners (2005) memberikan definisi jejaring (network): ‘a closely connected groups of people, companies etc. that exchange information’. Sedangkan Networking: a system of trying to meet and talk to other people who maybe useful to you in your work’. Berdasarkan pemaknaan di atas, jaringan praktis dilandasi kalkulasi kepentingan dan bukan dalam spirit sinergitas.

Networking pada dirinya sendiri tidak otomatis melekat sinergitas. Terjadinya sinergitas memerlukan input energi tambahan. Dari pengkayaan agenda belajar dan kerja bersama, advokasi bersama.

Organisasi masyarakat sipil (CSOs) bukanlah sebuah konsep tunggal. Masyarakat sipil lebih dari sekedar bentukan kelompok LSM-LSM. Melainkan merupakan domain di mana gerakan social dan berbagai jenis organisasi-organisasi sipil terorganisir secara formal maupun informal, yang merepresentasikan keragaman dan kerap kontradiksi dengan kepentingan social dan politik.[4]

Bagaimana CSOs menilai dirinya sendiri merupakan pengalaman menarik, karena eksistensinya berbeda-beda tidak hanya di dalam bentuk dan ukuran, tetapi juga tujuan, metode, basis dukungan. CSOs pada dirinya sendiri tidak identik dengan ‘baik’ seperti kelompok-kelompok fundamentalist merupakan bagian dari masyarakat sipil sama seperti organisasi HAM.

Beberapa hambatan/tantangan/pergumulan existensial CSOs pada negara-negara dunia ketiga adalah bahwa dengan mudahnya terjebak pada hal-hal sebagai berikut:

  • Jaringan NGOs/CSOs bukan saja bisa menjadi money laundry tapi juga image laundry dari negara-negara utara.
  • Hambatan-hambatan pada konstuksi sosial yang merupakan penghambat gerakan dan pro status quo seperti ’feodalisme built in’ – contoh di Aceh adalah pelanggengan dominasi pro-status dari aktifis-aktifis yang secara lip-service ataupun permukaan adalah anti status quo? Simanjuntak (2005: 8) “kalangan masyarakat sipil pun umumnya tidak pernah steril dari kepentingan-kepentingan politik kelompok sosialnya serta juga dipengaruhi oleh struktur-struktur patrimonial yang melekat pada kehidupan mereka. Bahkan seringkali pula pemimpin-pemimpin kunci dari elemen-elemen masyarakat sipil adalah bagian dari elite lokal, bagian dari struktur feodal yang tetap berlaku, dan telah berinteraksi dengan jejaring rente selama sebagian besar masa hidupnya.”
  • Hal ini menyebabkan CSOs bisa menjadi melemah karena tidak adanya counter “corruption fight back” yang memadai (lihat Simanjuntak 2005).
  • Agen dan promoter men fight back effect? Pelanggengan kesenjangan social dan ketimpangan gender karena dominasi laki-laki di dalam kerja-kerja jaringan LSM. Sehingga agenda penguatan perempuan menjadi ‘berjalan ditempat’? Kesadaran semu ‘kesetaraan gender’ berada pada tingkat kepentingan akses dana bantuan ketimbang aktualisasi dari memfasilitasi ‘kemarahan-kemarahan’ social yang bersumber pada ketidak adilan gender.
  • Jaringan para “angkatan udara” – maksudnya adalah jaringan elite-elite NGOs yang jauh dari realitas dan basis kerja? Jaringan para elite yang merepresentasikan kepentingan asumsi ketimbang kepentingan hak-hak komunitas korban dan kaum marginal.
  • Kepentingan dana semata: yang ada dipusaran jaringanlah yang ’gemuk’, kaki jaringan yang jauh dapat remah-2 saja?
  • Dinamika jaringan, skenario regenerasi kepimimpinan internal NGO jaringan paska migrasi elite-elite ke INGOs, UN dan BRR?
  • Antisipasi ’brain drain’ VS ’brain gain’ di jaringan sebagai implikasi migrasi staf anggota jaringan ke INGOs, UN, BRR: trend jangka pendek atau jangka panjang?

PENUTUP

Paper ini tidak dimaksudkan untuk melakukan resolusi dan solusi atas hal-hal di atas, tetapi sengaja mengangkat hal-hal yang biasa yang jarang diangkat bahkan sering ditutupi demi pemolesan kulit luar jaringa-jaringan CSOs di Indonesia, termasuk di Aceh, kecuali (masih mungkin) di Republik BBM (Indosiar) dan Republik Mimpi (Metro TV).

Best Practices yang dipresentasikan di sini bukanlah suatu bentuk dan isi yang telah ada tetapi sesuatu bentuk dan isi sinergitas yang perlu terus menerus dicari dan direvisi dan dipertanyakan kembali, tetapi dalam visi yang trensenden tentang dunia yang lebih adil dan kemampuan aksi praktis di level intervensi program/proyek.

Daftar Bacaan:

Hivos (2002) Civil Voices on a Global Stage, CSB Policy paper

Manuel Castells (2000) The Contour of Network Society. The Journal of Futures Studies, Strategic Thinking & Policy, Vol.02, no.02.

Howard Dalzell (2002) Analysing European Networks: The Alliance2015 case. Alliance 2015 Working Paper on Networking Model for CSOs.

Simanjuntak, L. (2005) Melihat Ulang Korupsi di Daerah : Defisit Demokrasi dan Pertarungan Kepentingan. Jurnal Hukum JENTERA, PSHK, Edisi Juli.

Twigg, J. ed. (2005) Filling Gaps and Making Spaces: Strengthening Civil Society in Unstable Situations. The Baring Foundation, UK.

Wicaksono, A & Thomas, H (2005) Membaca Ulang Indonesia Timur. Paper Penelitian Dinamika CSOs di Indonesia Timur – PIKUL.



[1] Judul asli adalah ”Mencari Best Practices Jaringan CSOs di Indonesia.” Dikembangkan untuk dipresentasikan pada pertemuan Koalisi NGO HAM di Banda Aceh 2006. Konteks jaringan yang dipresentasikan di sini dibatasi pada dinamika hubungan NGO lokal/nasional dari perspektif pribadi. Direvisi secara cepat untuk di bagikan ke Forum Academia NTT.

[2] PhD Candidate Kajian Risiko Bencana , Uni-Bonn

[3] By definition yang sederhana, kartel adalah ”suatu gabungan perusahaan-perusahaan yang bertujuan monopoli teristimewa dalam mengatur harga-harga”. Dalam konteks CSOs, bisa jadi diartikan (secara provokatif) sebagai gabungan NGOs yang monopoli akses pada arus dana Utara (baca: funding-funding CSOs dari negara dunia pertama).

[4] HIVOS CSB POLICY PAPER 2006

Saturday, February 02, 2008

Making (accurate predictions of) waves (Physorg.com)

28 January 2008 Tsunami propagation pattern from earthquake west of Sumatra island, Indonesia. Credit: USC Tsunami Research Center/Northwestern University


A new review of tsunami hazards concludes that the 2004 catastrophe was far from the worst possible in many Indian Ocean borderlands -- and notes that warning systems to guard at-risk populations are still lagging.


Costas Synolakis, director of the University of Southern California Tsunami Research Center, is co-author of "Far-Field Tsunami Hazard From Mega-Thrust Earthquakes in the Indian Ocean," just published in Geophysical Journal International.

Synolakis and co-author Emile Okal of Northwestern University evaluated all known potential tsunami-generating sources in the vast area between Africa, Asia, Australia and Antarctica, and then calculated the impact of the tsunamis they can generate, should they rupture. Their paper presents the geographical distribution of risk.

"This is really the first time the risk has been examined on a basin wide scale," according to Synolakis.

The pair examined eight scenarios, two along Southern Sumatra (in Indonesia), two in the North Andaman segment of the Sumatra Subduction Zone, two sources along the Makran Subduction Zone (south of western Pakistan) and two sources south of the Indonesian island of Java.

According to Synolakis, a professor in the USC Viterbi School of Engineering's Sonny Astani Department of Civil and Environmental Engineering, "the most important lesson from the scenarios we investigated is that the patterns of far-field maximum amplitudes predicted by our simulations will not be a repeat of those observed in 2004." The differences result from differences in the directions in which the disturbances propagate, "and in many instances the results are counterintuitive."

Synolakis expressed confidence in the reliability of the projections. "Even if the earthquakes, as they materialize in the future, have geometric characteristics that are slightly different from our hypothetical scenarios, the far field impact projections are robust to small initial perturbations arising from uncertainty in the rupture characteristics."

Among the paper's conclusions:

-- The impact in the mid-ocean Maldive Islands from all scenarios appears to be similar or less than what was observed in 2004 - however the low-lying structure of the islands makes them more difficult to evacuate than other risk sites.

-- The impact in Madagascar and the Mascarene Islands (Mauritius, Rodrigues and Reunion) and the Seychelle Islands north of them could be far greater than in 2004, particularly from earthquakes in Southern Sumatra and in South Java. Madagascar is found particularly vulnerable from South Sumatran tsunamis.

-- Africa suffered in excess of 300 deaths in 2004, 300 of them in Somalia. Its east coast is vulnerable from south Sumatran tsunamis and in particular, Somalia remains at high risk due to the focusing effect of the Maldives ridge. The Comoro islands located between Tanzania and Madagascar would probably be affected more severely than in 2004.

-- Large earthquakes in south Java would generate substantial levels of destruction in Northern Australia, despite the sparse level of development there.

-- The Strait of Malacca area appears more vulnerable than in 2004, from earthquakes in the North Andaman. Bali and Lombok could be severely affected by large events in south Java. In fact Bali was affected by the 1994 tsunami, whose trigger was smaller than the ones envisioned here.

Many of these scenarios have never been examined before. Synolakis' USC colleague Jose Borrero and others examined the local impact from south Sumatran scenarios in a 2006 paper in the Proceedings of the National Academy of Sciences. Synolakis and Okal concentrated on basin-wide impacts not studied earlier.

The impact to the eastern coast of India and in Myanmar and Bangladesh from the North Andaman scenarios was examined in a paper recently published in Nature by Phil Cummins (2007) of Geoscience Australia. The impact the new paper predicts is slightly different, Synolakis says, but only in the geographical distribution of the carnage.

According to that paper, the Makran Coast of Baluchistan constitutes a subduction zone along which the Arabian plate sinks under the Eurasian one. This was the site of a major earthquake on 1945 November 27, which was accompanied by a significant regional tsunami, with run-up in the five to ten meter range.

Synolakis and Okal, who is a professor in Northwestern's Department of Earth and Planetary Science, examined different rupture scenarios and their affect on the Makran coast, Oman and the west coast of India. "They are substantial and need more detailed study," Synolakis said, making reference to a documented catastrophe that occurred 24 centuries ago: "While the tsunami impact could be inferred from Pliny's reports of the adventure sof the fleet of Alexander the Great returning from India at the Straits of Hormuz in 434 AD, it has not yet been examined to the extent it deserves given the commercial and military value of the Straits.

Synolakis and Okal agree with Cummins about a critical need for the area: a warning net.

"It is quite clear that a tested and true tsunami early warning system as now works in the Pacific by the Pacific Tsunami Warning Center needs to be urgently implemented in the Indian Ocean," said Synolakis. "This system should include hundreds of pre-computed detailed scenarios of inundation for all Indian Ocean nations to facilitate emergency planning for evacuation should any of these scenarios materialize. Public education is a must and local people and visitors should be made aware of tsunami hazards, no matter how unlikely they may be, just us Hawaii and Oregon are already doing."

Synolakis and Okal began work on the project almost in the immediate aftermath of Sumatra 2004 and was completed last year.

"Our work was triggered from three different two week classes we taught for UNESCO in 2006/2007 on tsunami hazard mitigations in the Indian Ocean," said Synolakis. "More than eighty professionals attended having been nominated by their governments and we tried to show them how to assess with us the local impact from adjacent sources. We tried to guide them towards understanding and evaluating transoceanic impact, but the computational tools they had then were just not optimal.

"The work we present here extends the synthesis of hundreds of inundation projections done by our students in these classes, with varying degrees of success. However, all the specific scenarios we used are the synthesis of extensive literature and archive review, a synthesis of the preliminary material we developed in the UNESCO classes and of course all the computations are new."

Friday, February 01, 2008

Working Papers Bencana from NTT

Working Paper Bencana- NTT Studies (©IITTS Publications)

Working Paper 9 (February 2008) Lexand Ofong, Yoseph Boli, Yus Nakmofa "Menggagas Pembangunan NTT Dalam Perspektif "Disaster Risk Management" Download

Working Paper 8 (February 2008) John Campbell Nelson "Religion and Disasters: A Critical Reflection Post Alor Earthquake 2004." IITTS Publications! Download

Perangkat untuk Mengarusutamakan Pengurangan Risiko Bencana: Catatan Panduan bagi Lembaga-Lembaga yang Bergerak dalam Bidang Pembangunan. Charlotte Benson dan John Twigg dengan Tiziana Rossetto (Terjemahan Indonesia oleh Circle Indonesia & Hivos. Download

Panduan Penanganan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (CBDRM) January 2004 Oleh Yoseph Boli, Yus Nakmofa, Ipi Seli Seng, Lexand Ofong dan Leonis Herman. Download

Manual Pengananan dan Sistim Respon Darurat (Emergency Response Management) Oleh Silvia Fanggidae, Yanne Tamonop, Yus Nakmofa. FKPB January 2002. Download