Wednesday, October 10, 2007

Theologi Bencana: Perspektif Islam

Teologi Bencana

penulis: Affan Ramli* | Sumber: Opini Serambi Aceh, 10/10-2007

Konsep disaster risk management meyakini bencana terjadi akibat pertemuan ancaman dengan kerentanan masyarakat setempat minus kapasitas yang tersedia. Bagaimana pula keyakinan teologis masyarakat Aceh tentang langkah, raseuki, peutemun mawoet bak Allah Taala yang meyakini bencana merupakan kehendak Tuhan untuk peringatan, cobaan dan azab bagi manusia?

Adagium langkah, rizki, pertemuan, dan perpisahan/maut di tangan Allah dibangun dari konsep teologi anutan sebagian besar masyarakat Aceh. Perda Istimewa Aceh no.11/2002 tentang aqidah, ibadah, dan syiar Islam menjelaskan Ahlussunnah wal Jamaah lah pilihan aqidah masyarakat Aceh. Dalam studi teologi Islam, aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah memiliki dua konsep teologi dan mayoritasnya menganut Asy-'Ariyah.

Sebagai teologi yang tidak meyakini adanya free will dalam prilaku manusia, asy-ariyah sering menjadi alat justifikasi para penguasa atas kebijakan-kebijakan yang dibuat dan berdampak buruk pada kehidupan masyarakat muslim. Dalam konteks bencana Aceh,pemerintah berkepentingan dengan opini yang menghubungkan tsunami Desember 2004 lalu sebagai cobaan dan azab Tuhan.

Asy-ariyah lebih meyakini 165.708 orang meninggal akibat tsunami di Aceh dan 69 orang meninggal dan 305 orang hilang akibat banjir bandang di Aceh akhir tahun 2006 (Satkorlak NAD: 2006) merupakan keputusan Tuhan.
Teologi Asy-ariyah tidak cukup mampu menghubungkan bencana tsunami dengan model tataruang Aceh yang tidak sensitif tsunami.

Pemerintah Aceh berkepentingan dengan meluasnya pemahaman masyarakat bahwa angka 165 ribu lebih korban jiwa akibat tsunami di Aceh merupakan fenomena yang alami seperti alaminya gempa dan tsunami itu sendiri. Di pihak lain, pengetahuan manajemen bencana mengakui kealamiahan gempa dan tsunami, tetapi besaran korban jiwa dan harta sangat politis. Mengingat kebijakan tataruang adalah produk politik.

Pemerintah Aceh seharusnya tidak cukup nyaman memanfaatkan keyakinan fatalistik masyarakat untuk menjustifikasi kelemahan kebijakan politiknya terkait tataruang dan pendidikan masyarakat Aceh yang tidak peduli isu bencana. Beberapa minggu pertama setelah tsunami 2004 di Aceh, para khatib Jumat membahas bencana gempa dan tsunami di mimbar-mimbar mereka. Sekali lagi

Asy-ariyah menjadi pilihan perspektif, maka para khatib berulangkali menasihati masyarakat untuk menghentikan maksiat berhubung bencana merupakan azab Tuhan atas prilakukemaksiatan masyarakat Aceh selama ini. Perspektif ini kemudian berimplikasi luas pada kehidupan sosial, dan ikut menjadi alasan pembenaran prilaku masyarakat yang menghakimi pelaku khalwat dan maksiat lainnya dengan dalih setiap maksiat akan mengundang tsunami berulang kembali.

Fenomena ini sangat kontras dibandingkan dengan ceramah pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Sayid Ali Khamenei (yang tidak menganut Asy-Ariyah) ketika mengunjungi masyarakat korban gempa di kota Bam setahun sebelum tsunami Aceh. Di depan masyarakat korban, Ali Khamenei menekankan bahwa "tugas terpenting para pejabat ialah penanganan berbagai kekurangan yang masih ada. Pada tahap berikutnya yang merupakan tahap pembangunan kembali kota Bam, maka dari tengah puing-puing ini, harus dibangun sebuah kota yang kuat, kokoh dan membanggakan" (sumber: indonesia.irib.ir).

Sebagai ulama Islam, Khamenei melihat keterkaitan langsung gempa sebagai fenomena alami dengan kebijakan membangun kota yang kuat dan aman dari gempa.

Hubungan dengan Tuhan

Perbedaan kesimpulan terkait hubungan Tuhan dengan bencana di kalangan masyarakat Islam, menarik dikaji. Terutama dalam konteks upaya penanggulangan bencana di Aceh dan Indonesia secara keseluruhan yang didiami oleh sebagian besar masyarakat bergama Islam. Terlebih lagi Indonesia telah memiliki UU nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Pemerintah juga sudah memiliki Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengurangan Resiko Bencana.

Pertanyaan yang timbul, sejauhmana kebijakan politik ini efektif dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia dan Aceh ketika dihadapkan dengan paradigma teologi fatalistik masyarakat yang menemukan bencana sepenuhnya berhubungan dengan kehendak Tuhan, kekuatan supranatural? Pertanyaan ini relevan, mengingat perkembangan paradigma manajemen bencana mutakhir meyakini kekuatan masyarakat menjadi faktor sangat menentukan dalam
upaya-upaya pengurangan resiko bencana yang dilakukan oleh pihak manapun.

Pertanyaan lebih mendasar lagi, bagaimana sebenarnya umat Islam memahami hubungan Tuhan dengan berbagai kejadian bencana? Apakah itu bencana geologis-klimatolog is (seperti banjir, gempa, dan tsunami), bencana sosial-politik (seperti konflik dan perang), dan bencana kegagalan teknologi (seperti jatuhnya pesawat terbang, tenggelamnya tranportasi laut, kecelakaan kereta api dan lapindo).

Sebagian ahli teologi Islam, seperti Allamah Hilli dan Abdul Jabbar membicarakan hubungan Tuhan dengan berbagai kejadian alam (termasuk bencana) dalam "bab keadilan ilahi". Dalam diskusi bencana, setidanya terdapat dua pertanyaan relevan yang diajukan teolog ketika membahas konsep keadilan ilahi; Pertama, mungkinkah Tuhan melakukan keburukan? Kedua, apakah manusia memiliki kebebasan memilih kegiatannya, tindakannya, dan
kebijakannya?

Meski para teolog memiliki jawaban yang berbeda atas dua pertanyaan tersebut, namum mereka bersepakat dengan satu proposisi logis; orang yang adil tidak mungkin melakukan sesuatu yang buruk dan mengabaikan sesuatu yang menjadi tugasnya. Lalu apakah bencana suatu keburukan? Siapa yang berhak menyimpulkan sesuatu itu baik atau buruk? Para teolog kembali berbeda pandangan untuk pertanyaan inPenganut Asy-Ariyah mengatakan hanya
Tuhan dengan syariat-Nya yang bisa menentukan baik atau buruknya sesuatu. Aliran kalam mu'tazilah dan imamiah bersepakat akal manusia mampu mencapai pengetahuan yang valid tentang baik atau buruknya sesuatu tampa
syariat sekali pun.

Mengikut logika teologi Imamiah dan Mu'atazilah, kita meyakini manusia dengan akalnya dapat mengetahui bencana sesuatu yang buruk bagi kehidupan mereka. Sampai di sini kita hanya perlu meluruskan pemahaman terminologi bencana-yang menurut pengetahun manajemen bencana- harus dibedakan dengan term ancaman (hazard).

Sesuatu yang buruk bagi kehidupan manusia adalah bencana, dan bukan ancaman. Ancaman seperti banjir, gempa, tsunami, badai adalah gejala alam yang niscaya terjadi, karenanya bukan sesuatu yang buruk. Sedangkan bencana- seperti 165.708 korban jiwa, 53 triluan kerugian harta, puluhan ribu rumah hancur- akibat tsunami bukanlah sesuatu yang baik bagi masyarakat manusia di Aceh. Dan besaran angka-angka bencana tersebut tidak mesti terjadi. Dengan kata lain, masih bisa dikurangi sekecil mungkin dengan sejumlah tindakan yang tepat (baca- reduksi resiko bencana). Bukankah manusia Aceh (pemerintah dan aktor pembangunan yang lain) memiliki kebebasan dalam memilih tindakan dan kebijakan ?

Persoalan terbesar adalah para teolog Asy-ariyah menyimpulkan semua tindakan manusia berasal dari Tuhan, dan manusia tidak bebas memilihnya. Maka besaran angka bencana akibat banjir, badai, dan ancaman-ancaman lain di Aceh merupakan keputusan Tuhan dalam Takdir-Nya. Manusia harus melihat bencana sebagai kebaikan karena keputusan Tuhan semuanya kebaikan. Pandangan ini telah memposisikan Tuhan dalam kondisi antagonis berhadapan dengan kepentingan manusia yang dengan akal sehatnya mengetahui pembangunan kehidupan, kebudayaan, dan peradaban tidak membutuhkan bencana.

Dengan demikian, UU no.24 tahun 2007 dan RAN pengurangan resiko bencana yang sudah menjadi kebijakan pemerintah Indonesia hanya mungkin dijalankan dengan perspektif teologi yang mengakui adanya free will bagi masyarakat manusia. Diantaranya teologi Imamiah dan rasionalisme Mu'atazilah.

Determinisame 100 persen yang dianut Asy-ariyah dan teologi mayoritas masyarakat Aceh selama ini berimplikasi negatif pada pembangunan Aceh ke depan. Di antara implikasi politiknya adalah pemerintah Aceh akan menjadikan teologi ini untuk menjustifikasikan kebijakan-kebijakan pembangunan Aceh (RPJMA) yang tidak mengarus utamakan manjemen resiko bencana di dalamnya sebagai takdir Tuhan.

Dan DPRA pun merasa benar, meski mengabaikan pentingnya Qanun Penaggulangan Bencana untuk Aceh. Sejauh ini, terdapat 59 draft qanun prioritas yang akan dibahas DPRA sampai tahun 2009 dan qanun pengurangan resiko bencana tidak termasuk di dalamnya.

Tidak ada satu logika pun yang dapat membenarkan ketika semua tahu Aceh adalah wilayah rentan bencana, tetapi pemerintahnya tidak membuat regulasi yang strategis untuk penanggulangan bencana. Sejauh ini, pola penanganan bencana Aceh masih sebatas emergency respon. Kecuali itu, pembangunan instalasi tsunami early warning system (TEWS) yang sepenuhnya mengandalkan pendekatan tunggal keteknikan (engineering) , terbukti menimbulkan kepanikan warga ketika suara sirine peringatan tsunami berbunyi pada awal juni 2007 lalu. Kepanikan warga desa kaju dan sekitarnya akibat sirine TEWS menyebabkan banyaknya kecelakaan transportasi yang justru menambah daftar bencana.


*) Penulis adalah pegiat Acheh Disaster Watch di lembaga ProDeelat