Saturday, July 01, 2006

Alat Analisis dan Pabrikasi Kelaparan

Opini - Kompas 20-06-06
Jonatan Lassa

Sebanyak 60.000-an orang diberitakan terancam kelaparan di Kabupaten Sikka, NTT, (Kompas 10/6). Dilaporkan, krisis produksi terjadi tiga bulan lalu.

Dikabarkan, komunitas di 10 desa makan putak, semacam famine food khas NTT. Kelaparan merupakan kejadian berulang dan merupakan bencana yang terjadi secara perlahan. Kalaupun terjadi kelaparan secara literalis di Sikka, peringatan dini seharusnya dilakukan dua bulan lalu.

Ini adalah contoh ketidakakuratan alat analisis kelaparan yang mendikte kebijakan publik. Padahal, Bimas Ketahanan Pangan bekerja sama dengan WFP telah mengembangkan alat bernama Food Insecurity Atlas (FIA) sejak dua tahun lalu.

Terlepas dari semua perdebatan, kelompok paling rentan adalah anak-anak. Bila RĂ©gis Debray menyebut lingkaran setan malnutrisi akut dari kehamilan hingga kelahiran sebagai crucified at birth (penyaliban saat lahir), maka busung lapar akibat kelaparan dan malnutrisi adalah penyaliban anak balita. Hak mereka terkebiri dan potensi sumber daya manusia Indonesia menjadi "cacat" seumur hidup.

Penelitian kelaparan di NTT sudah banyak, tetapi tidak saling berkait. Dan, tiap pihak menggunakan alat analisis sendiri-sendiri. Tidak ada transfer informasi yang utuh dari penelitian sebelumnya. Hampir semua memulai dari nol. Amat tidak efisien.

Konsep ketahanan pangan

Maxwell (1966) mengusulkan empat elemen ketahanan pangan berkelanjutan di tingkat keluarga. Pertama, kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat.

Kedua, akses atas pangan, yang didefinisikan sebagai hak (entitlements) untuk berproduksi, membeli atau menukarkan (exchange) pangan atau menerima sebagai pemberian (transfer).

Ketiga, ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, risiko, dan jaminan pengaman sosial.

Keempat, fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat bersifat kronis, transisi atau siklus.
Pada tingkatan analisis praktis, Sobel et al (1998) mencoba tegas membagi sistem pangan dan nutrisi, yang didefinisikan sebagai "seperangkat operasi dan proses yang terjadi dalam mengubah bahan baku (raw materials) ke dalam pangan serta transformasi nutrien dalam capaian kesehatan dalam sistem biofisikal dan konteks sosio kultural". Usulan Sobel mampu membuat turunan membedah konsumsi pangan, kandungan makro dan mikro nutrien, berdasar pola makan keluarga dan individu. Audit multinutrien di level keluarga dengan mudah dilakukan.

Pentingnya mengombinasikan konsep yang ditawarkan Maxwell (1996) dan Sobel (1998) adalah untuk membuat keterkaitan antara makro (di level negara) dan mikro (level rumah tangga dan individu). Juga menghindari penyamaan buta antara pangan dan nutrisi sekaligus memperlihatkan keterkaitan antara keduanya. Eksistensi nutrisi dalam pangan dan pangan yang bergizi dalam relevansinya pada konteks, proses, struktur, dan kebijakan.

Relevansi pada kebijakan

Kebijakan penanganan kelaparan tidak bisa didasarkan pada alat diagnosa yang gagap, timpang, dan reaktif. Kasus Sikka adalah contoh ketidakefektifan penanganan kelaparan berulang.
Ketahanan pangan di NTT tidak pernah hanya bisa didasarkan faktor produksi pertanian. Romantisme untuk 100 persen kembali pada produksi subsisten adalah omong kosong. I Gde Pramartha dalam buku Pedagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915 memberi proxy untuk melihat perdagangan antarpulau (inter-insular trading) sebagai bagian pemenuhan pangan.

Informasi dari masyarakat desa "miskin" seperti Oeue di Timor Tengah Selatan (TTS), mereka mampu menjual hasil hutan nonkayu, seperti asam (tamarind) sebanyak 500-an metrik ton tahun 2005. Itu berarti ada sekitar Rp 500 juta beredar dalam satu desa selama tiga bulan musim terkering. Angka ini tidak pernah muncul dalam statistik pemerintah, termasuk Bimas Ketahanan Pangan. Tanpa alat bedah kelaparan yang baik dan komprehensif, pejabat negara akan dengan mudah mempabrikasi kelaparan dengan berteriak, puluhan ribu rakyat lapar.

Melihat kelaparan tidak sama dengan mengerti kelaparan. "Seeing" is not the same as "understanding".

Jonatan Lassa Koordinator Hivos Aceh Program, Praktisi Manajemen Bencana, Alumnus University of East Anglia, United Kingdom

"Wedhus Gembel" Dientak Gempa

Opini Kompas 2 Juni 2006
Jonatan Lassa

Gempa menghancurkan Yogyakarta dan sekitarnya. Lebih dari 5.000 orang meninggal dunia, ribuan terluka, sebagian cacat. Ratusan ribu rumah hancur dan rusak. Isu wedhus gembel dientak gempa

Sains, praktisi, dan ahli bencana seolah gagal mengomunikasikan risiko lain selain fenomena gunung api bahwa di luar letusan magmatik, semburan lahar, lava, dan wendhus gembel, ada risiko guncangan gempa, entah vulkanik maupun tektonik yang membahayakan. Konsep inilah yang dikenal dengan nama multi-hazards approach (pendekatan multiancaman) terhadap emergency planning (perencanaan kedaruratan).

Yang hilang dari analisis risiko bencana Yogyakarta yang harusnya disajikan ke publik adalah sejarah dinamika kegempaan baik yang bersifat vulkanik dan tektonik.

Sejarah gempa tektonik Yogyakarta tahun 1867 dan keterkaitan gempa itu dengan aktivitas Merapi hilang begitu saja. Tentunya, modeling bencana tahun 1867 (baik kegempaannya maupun risikonya) harus dibuat keterkaitannya dengan Merapi sebagai dasar untuk memodelkan the worst case scenario dalam bencana kekinian dan masa depan.
BMG dan berbagai pakar bencana mainsteam terus berargumentasi bahwa bencana Yogyakarta dan Jateng adalah murni tektonik. Masalahnya, mengapa tidak dikomunikasikan sebelumnya bahwa ada risiko gempa tektonik? Ini diperlukan untuk kesiapsiagaan satu paket dengan potensi bencana Merapi.

Memprediksi gempa vulkanik ataupun tektonik dengan the worst case scenario tidak mudah dilakukan secara ex-ante. Tetapi wajib dimasukkan sebagai salah satu risiko dalam kesiagaan bencana dan perencanaan kedaruratan dan seharusnya tidak sulit.

Sejarah bencana
Dalam pelajaran dasar tentang kebencanaan karena gempa (entah tektonik maupun vulkanik), pemetaan risiko dan analisis sejarah serta dinamikanya harusnya dilakukan. Disiplin ilmu sejarah bencana sudah saatnya dibuka di berbagai universitas karena negeri ini bukan hanya negeri sejuta budaya dan sumber daya, tetapi juga bencana.

Tanpa menjadi seorang seismolog, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ada risiko gempa vulkanik, tektonik, serta kombinasi keduanya. Gempa yang berelasi dengan aktivitas vulkanik, salah satunya bisa dikarenakan perubahan tegang pada batuan (solid rock) berkaitan dengan masuk dan keluarnya magma. Fenomena ini yang disebut gempa vulkanik-tektonik. Gempa macam ini dapat menyebabkan retak besar karena batuan bumi bergerak untuk mengisi ruang yang ditinggalkan magma. Gempa jenis ini tidak mengindikasikan bahwa gunung api akan meletus tetapi indikasi bahwa kapan saja dapat meletus.

Dalam fenomena Merapi, para ahli geologi Indonesia yakin benar, meski bervariasi argumentasi mereka bahwa gempa Yogyakarta murni tektonik. Hemat saya, selalu ada tingkat "ketidakpastian", dan "celah" bila analisis saling pengaruh dengan Merapi diabaikan, apalagi sisi sejarah (periode ulang) kegempaan dan vulkanik yang dipakai tidak ditarik pada rentang waktu yang lebih panjang. Analisis 300 tahunan tentu lebih akurat dan pasti ketimbang 50-an tahun saja.

Strategi kedaruratan
Perencanaan kontinjensi bencana Yogyakarta sebenarnya sudah ada. Yang menjadi masalah adalah peristiwa bencana Yogyakarta dan Jateng, Sabtu (27/5), lebih dikarenakan pada komunikasi risiko yang tidak utuh. Sejarah dan pelajaran gempa vulkanik dan tektonik Yogyakarta dari pengalaman sebelumnya mungkin sudah terlupakan. Rumah berstruktur rentan akan mudah runtuh dan menimpa penghuninya akibat guncangan gempa vulkanik.

Pengalaman ini sudah terekam sejak tahun 79 sebelum Masehi di Pompeii beberapa hari sebelum Gunung Vesuvius meletus, hingga pengalaman Gunung Pinatubo di Filipina yang meletus tahun 1991. Pilihan tindakan ex-ante yang bisa dilakukan tidaklah banyak, selain mitigasi kegempaan dengan membangun rumah, gedung, infrastruktur, berdasarkan peraturan kegempaan dan bangunan yang berlaku.

Sedangkan yang optimal harus dilakukan adalah mempersiapkan langkah-langkah strategis kedaruratan detail dalam menghadapi tiap risiko gunung api, termasuk yang tidak diperhitungkan yakni gempa. Prasyaratnya adalah diagnosis risiko harus komprehensif dan tepat.

Berpikir progresif
Bill McGuire, profesor bencana geologis kesohor yang juga Direktur Benfield Hazard Research Centre, University College London, yang telah memiliki jam terbang tinggi dalam pengamatan gunung api, memberi perspektif yang lain dalam memprediksikan keaktifan gunung api.

Berdasarkan pengalaman penelitiannya, dan penelitian dari Ben Mason dan David Pyle di Cambridge University, di mana diuji lebih dari 3.000 letusan gunung api di dunia sejak tahun 1700 and 1999. Yang mengejutkan dari penelitian mereka adalah waktu terjadinya aktivitas gunung api tidaklah acak, tetapi terkonsentrasi, di mana lebih banyak letusan terjadi pada periode tertentu terkait perubahan iklim dunia.

Sejumlah penjelasan masuk akal, tetapi jarang muncul dalam pembahasan gunung api di Indonesia, yakni relasi letusan gunung api (pantai dan pulau) dengan peristiwa klimatologis. Salah satu yang mengejutkan adalah bahwa erosi kilat yang terjadi akibat naiknya permukaan laut (debuttressing effect) ketika laut mengalami penurunan permukaan secara drastis.

Jawabannya sederhana, yakni bahwa air dijebak dan dilepas dari lembaran es di kutub, resultan naik dan turunnya volume laut dan level air laut memberi tekanan hidrostatis/gravitasi pada kulit bumi di bawah gunung api yang terletak pada tepian benua. Ini memungkinkan magma segar dari perut bumi masuk gunung api atau melepaskan magma yang tertampung dalam gunung api.

Argumentasi dasar yang mau di buat di sini adalah bahwa kombinasi pengaruh perubahan iklim dunia diperkirakan akan memengaruhi dinamika geologis gunung api dan tektonik. Jebakan untuk melihat analisis gunung api dari satu sisi membuat kita lupa memperhitungkan berbagai risiko bawaan dan risiko lainnya.

Tepatnya sebulan lalu, di University College London, dilakukan seminar "Managing Volcanic Crises: Effective Integration of Science, Policy and Practice". Inti pembicaraan yang dilakukan adalah empat hal mendasar yang harus dilakukan.

Pertama, upaya membangun strategi emergensi dengan mempraktikkan teori. Kedua, pemahaman terhadap ketidakpastian dan tanggung jawab saintis dalam peringatan dini gunung api. Ketiga, memahami bagaimana respons terhadap letusan/bencana tanpa peringatan dini. Keempat, modeling krisis pascabencana/letusan/gempa, tentunya dengan memperhitungkan sejarah kegempaan entah vulkanik maupun tektonik.

Urgensitas dari mengetahui kekompleksan gunung api dan pemetaan risiko yang komprehensif secara strategis maupun taktis berguna bagi perencanaan bencana (disaster planning) yang lebih memadai dan lebih siap.

Prasyarat disaster planning yang baik adalah pemetaan risiko bencana harus komprehensif.
Sebuah PR panjang bagi kita di Indonesia, dari pelajaran teramat mahal dari Yogyakarta.

Jonatan Lassa Koordinator Hivos Aceh Program, Praktisi Manajemen Bencana, Alumnus University of East Anglia, UK